Pada tahun
220 Hijriah, anak Thulun lahir. Dia diberi nama Ahmad, Anak itu tumbuh dan
berkembang dalam kondisi rendah diri berbalut kekerasan. Ahmad berusaha menutupi
kekurangannya. Dia tumbuh lebih dewasa dari usia sebenarnya.
Karena
pengaruh lingkungan, Ahmad bagaikan memiliki dua akal dari dua manusia yang
berbeda; akalnya yang satu seakan bersama malaikat, dan yang satunya bersama
setan.
Ahmad
bin Thulun atau lebih dikenal Ibnu Thulun, telah hafal al-Qur’an secara baik
waktu kecil. Dia termasuk anak yang suaranya indah dan sangat tekun belajar. Dia
cukup menguasai mazhab imam Abu Hanifah.
Tatkala
ayahnya wafat, Ibnu Thulun diangkat menjadi komandan, menggantikan ayahnya. Keadaan
terus berubah, sampai akhirnya dia bisa menjadi raja besar yang menguasai Mesir
dan Syam sekaligus.
Saat memerintah,
dia bagai dua orang dalam satu tubuh. Suatu ketika, dia bagai malaikat yang
suci. Namun, dilain waktu, dia seperti setan yang sangat jahat.
Ketika
jiwa malaikat dalam dirinya muncul, dia cinta pada kebaikan dan beramal baik. Dia
menyantuni fakir miskin, membangun masjid dan rumah sakit, serta mencintai
ulama dan para penuntut ilmu. Namun, kerap kali jiwa setannya juga keluar
sehingga dia bersikap jahat, lalim dan kejam.
Tatkala
kelaliman dan kekejamannya memuncak, rakyat tidak tahan lagi. Mereka mengadukan
kezaliman Raja Ahmad bin Thulun kepada Imam Abil Hasan Ahmad bin Banan atau dikenal dengan sebutan Ibnu
Banan. Beliau adalah seorang ulama yang dikenal berani menegakkan kebenaran dan
tidak takut kepada celaan siapapun.
Ibnu Banan
langsung bergegas pergi menemui Ibnu Thulun. Dia menerobos masuk istana. Saat itu,
Ibnu Thulun sedang mengumpulkan seluruh menteri dan para pemuka masyarakat.
Tanpa
basa-basi, di hadapan Ibnu Thulun dan seluruh menterinya, Imam Ibnu Banan
berkata, “Wahai Ibnu Thulun, penguasa
Mesir dan Syam, bertakwalah kepada Allah dan jangan menzalimi rakyat. Kelak,
dihadapan Allah yang Maha Adil, engkau akan mempertanggungjawabkan semua
perbuatanmu, yaitu di hari ketika harta dan anak tidak bisa memberi manfaat
apa-apa kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang lurus dan
bersih. Ketahuilah, orang yang mendustai rakyatnya tidak akan mencium bau surga!’
Seketika
itu, suasana di dalam istana dicekam keheningan. Ibnu Thulun dan orang-orang
yang hadir di situ tidak percaya pada apa yang mereka dengarkan dan mereka
lihat. Bagaimana mungkin seorang Ibnu Banan berani berbicara dengan begitu
lantang di hadapan Raja Ibnu Thulun.
Semua
mata tertuju pada sang Raja. Mereka menanti apa yang akan dilakukannya, dan
titah apa yang keluar dari mulutnya. Saat itu, mereka benar-benar terpaku dan
terkejut oleh keberanian Ibnu Banan.
Ternyata
sang Raja Ibnu Thulun bergetar. Mukanya merah padam. Matanya menyorotkan ribuan
kejahatan.
Dengan
suara keras, dia berteriak memberikan perintah pada pengawal yang ada, ‘Tangkap orang gila ini dan jebloskan ke
dalam penjara!”
Secepat
kilat, para pengawal yang kekar itu meringkus Imam Abil Hasan bin Banan dan
menggelandangnya ke penjara. Majelis pertemuan raja dan para menterinya itu pun
bubar. Ibnu Thulun masuk ke kamarnya untuk beristirahat mendinginkan
kemarahannya. Namun, kasurnya yang empuk terasa bagaikan tumpukan duri-duri
panas. Akalnya benar-benar telah mendidih mendengar perkataan Ibnu Banan tadi.
Dia langsung
memanggil pengawalnya, ‘Bawa kemari orang
gila itu!”
Tak lama
kemudian, Imam Ibnu Banan telah berada di hadapan Raja Ibnu Thulun dengan
menegakkan kepalanya.
Ibnu Thulun
berkata padanya, ‘Hai Abu Hasan,
bagaimana kau berani melakukan hal seperti itu di depan orang banyak?... Tetapi tak apa, aku akan mengampunimu jika
kamu mau meminta maaf kepadaku di hadapan orang banyak.”
Dengan
tegas, Ibnu Banan menjawab, ‘Aku tidak
melakukan dosa! Aku hanya memberi nasihat.”
Dengan
gusar, Ibnu Thulun berteriak kepada para prajuritnya, “Seret orang gila ini ke penjara! Siapkan singa paling ganas, jangan
beri makan selama tiga hari! Biar orang gila ini yang akan jadi santapannya!
Aku tidak mau mataku melihat tampangnya lagi.”
Ibnu Banan
menyahut tenang, ‘Umur ada di tangan
Allah, Ibnu Thulun. Kau hanyalah seorang hamba dari sekuan banyak hamba Allah. Kau
tidak akan memendekkan atau memanjangkan umurku sama sekali.
Para prajurit
menyeret Ibnu Banan yang kedua tangan dan kakinya dirantai dengan besi. Mereka menjebloskannya
kembali ke dalam penjara.
Anak lelaki
Ibnu Thulun sangat suka memelihara singa dan harimau. Jika dia mendengar ada
singa di suatu daerah, pasti diburunya dan diletakkan di dalam kerangkeng dan
ada di dalam istana. Tidak heran jika dia memiliki koleksi kumpulan singa yang
sangat banyak.
Kemudian,
seorang pengawal mengambil singa yang paling ganas dan kuat lalu membuatnya
lapar selama tiga hari.
Tiga hari
kemudian, Ibnu Banan diambil dari selnya dan diletakkan di sebuah tempat yang
cukup lapang yang menyerupai kolosium (arena tempat para ksatria pada zaman
Romawi bertarung).
Disana,
orang-orang dipersilahkan menonton bagaimana singa yang kelaparan itu akan
mencabik-mencabik Ibnu Banan. Kerangkeng singa itu dibuka. Singa yang tidak
makan tiga hari itu langsung meloncat dan mengaum keras bagai suara guntur. Orang-orang
yang menontonnya sudah merinding. Sementara, Imam Ibnu Banan masih tenang sujud
pada Allah swt.
Tatkala
singa itu sudah dekat dengan Ibnu Banan, tiba-tiba singa itu berhenti lalu
duduk dan menundukkan kepalanya. Setelah itu, ia bangkit dan mendekati Ibnu
Banan. Ternyata, ia tidak memangsa Ibnu Banan. Akan tetapi, singa itu malah
menjilati kaki beliau dan menggesekkan-gesekkan kepalanya pada tubuh Ibnu Banan
dengan penuh persahabatan.
Seolah-olah,
singa itu ingin berkata pada Raja Ibnu Thulun, “Pertarungan ini bukan pertarungan antara singa dengan Ibnu Banan. Juga bukan
pertarungan antara Ibnu Banan dengan ibnu Thulun. Akan tetapi pertarungan
antara kehendak Allah swt dengan kehendak Raja Ibnu Thulun.”
Menyaksikan
hal itu, semua orang yang menonton, menjadi takjub tak terkira. Lebih-lebih
Ibnu Thulun dan para prajuritnya. Lalu, Ibnu Thulun memerintahkan kepada para
prajurit untuk mengembalikan singa itu ke kandangnya dan membawa Ibnu Banan ke
hadapannya.
Ibnu Banan
akhirnya kembali berdiri di hadapan Sang Raja Ibnu Thulun dengan menegakkan kepalanya.
Sang Raja
bertanya, “Bagaimana keadaanmu, Abu Hasan?”
“Alhamdulillah, baik-baik saja seperti yang
kau lihat, ‘Jawab Ibnu Banan.
“Apa yang ada di dalam hatimu? Apa yang
sedang kau pikirkan?” Tanya raja.
“Aku tidak apa-apa, aku hanya membaca
firman Allah. ‘Dan bersabarlah dalam
menunggu ketetapan Tuhanmu, sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami.”
(Qs 52:48)
“Aku juga sedang berfikir tentang jilatan
singa, suci ataukah najis?” lanjut Ibnu Banan.
Seketika
itu, Raja Ibnu Thulun bangkit dan mencium kepala Imam Ibnu Banan, lalu meminta
maaf kepadanya dan membebaskannya.
*Taken
from Ketika Cinta Berbuah Surga (Habiburrahman El Shirazy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar