Malam
hari raya Idul Fitri telah tiba. Kota Damaskus terang benderang oleh cahaya
lampu beraneka warna. Takbir bergemuruh terdengar membahana.
Dalam
sebuah rumah yang sederhana, seorang wanita berjilbab putih berkata kepada
suaminya, “Abu Abdillah suamiku, besok
hari raya. Anak kita tidak memiliki pakaian baru seperti anak-anak tetangga
lainnya. Ini semua disebabkan tindakan borosmu.”
“Aku tidak boros, aku hanya menginfakkan hartaku dalam kebaikan dan demi membantu orang-orang miskin yang membutuhkan. Ini bukan suatu pemborosan, Ummu Abdillah, “ jawab sang suami.
“Baiklah, kumohon sekarang, tulislah surat
dan kirim kepada salah seorang sahabatmu yang baik hati dan ikhlas, agar mereka
menyisihkan sebagian hartanya kepada kita. Jika keadaan kita membaik, insya
Allah akan kita ganti.”
Abu Abdillah
memiliki dua teman karib yang berhati ikhlas. Mereka bernama Hamdi dan Usamah. Mendengar
permintaan istrinya itu, dia segera menuls surat. Lalu, dia memberikan surat
itu kepada pembantunya agar membawanya ke tempat sahabatnya, Hamdi. Kemudian,
pembantunya itu pergi ke tempat Hamdi dan menyerahkan surat yang ditulis oleh
tuannya.
Hamdi
membacanya dengan seksama. Dia segera tahu bahwa sahabatnya yang pemurah sedang
dalam kesempitan dan kesusahan karena tidak memiliki apa-apa.
Hamdi
berkata kepada utusan Abdu Abdillah, “Aku
tahu tuanmu telah menginfakkan semua hartanya dalam kebaikan. Ambillah kantong
ini dan katakan kepada tuanmu, hanya inilah harta yang aku miliki pada malam
hari raya ini.”
Pembantu
Abdu Abdillah bergegas kembali kepada tuannya dan menyerahkan kantong pemberian
Hamdi itu. Abu Abdillah membuka kantong itu. Ternyata, isinya uang seratus
dinar.
Dia berkata
kepada istrinya dengan penuh gembira, “Ummu
Abdillah, lihat ini, Allah telah mengantarkan seratus dinar kepada kita”
Sang istri
pun gembira dan berkata pada suaminya, “Cepatlah
pergi ke pasar untuk membelikan pakaian dan sandal baru untuk anak-anak kita. Juga
jangan lupa membeli daging dan makanan.”
Pada saat
Abu Abdillah bersiap-siap hendak pergi ke pasar, terdengar seorang mengentuk
pintu. Abu Abdillah membuka pintu. Ternyata, yang datang adalah pembantu
Usamah, sahabatnya. Pembantu Usamah itu datang membawa surat minta pertolongan
kepada Abu Abdillah agar berkenan meminjami uang untuk membayar hutang yang
telah jatuh tempo. Tanpa berfikir panjang, Abu Abdillah langsung menyerahkan
kantong berisi uang seratus dinar yang ada ditangannya kepada pembantu Usamah. Dia
menyerahkan semuanya, tanpa mengambil satu dinar pun.
“Katakan pada Usamah, tuanmu. Segera lunasi
hutangnya malam ini juga, “Pesan Abu Abdillah pada pembantu itu.”
Mengetahui
hal itu, terang saja Ummu Abdillah marah kepada Abu Abdillah yang lebih
mementingkan sahabatnya daripada anak-anaknya.
“Kau ini tega melihat anak kita bersedih dan
kelaparan. Kalaupun kau mau membantu Usamah, mengapa tidak setengah dari uang
itu saja? Mengapa kau berikan semuanya?” Ucap Ummu Abdillah sewot.
Sang suami
menjawab, “Temanku meminta pertolonganku,
bagaimana mungkin aku tidak memberinya? Aku juga tidak tahu apakah uang di
dalam kantong itu cukup untuk melunasi hutangnya atau tidak?”
Ummu Abdillah
terdiam dan beristigfar untuk meredakan kejengkelannya kepada sang suaminya
yang terlalu baik kepada orang lain itu.
Beberapa
jam kemudian, terdengar orang mengetuk pintu. Abu Abdillah membuka pintu. Dia kaget
bukan kepalang. Ternyata yang datang adalah sahabatnya, Hamdi. Serta merta dia
memeluk dan menyambut dengan hangat, lalu mempersilahkannya masuk.
Setelah
duduk, Hamdi berkata, “Aku datang untuk
bertanya kepadamu tentang kantong ini. Apakah ini kantong yang aku kirim
kepadamu dan di dalamnya ada seratus dinar?”
Abu Abdillah
mengamati kantong itu penuh seksama.
Dengan
nada kaget, dia berkata, “Ya… ya… benar…
ini adalah kantong itu. Ceritakanlah kepadaku, Hamdi, bagaimana kantong ini
bisa kembali kepadamu?”
Hamdi
lalu bercerita, “Ketika pembantumu datang
kepadaku membawa suratmu. Aku berikan kantong itu, dan itu adalah satu-satunya
harta yang aku punya. Karena aku tidak punya apa-apa lagi, maka aku langsung
minta bantuan pada Usamah. Betapa terkejutnya aku ketika Usamah memberikan
kantong berisi seratus dirham, yang tidak lain adalah kantong yang aku kirimkan
kepadamu tanpa kurang satu dinarpun. Aku takjub, untuk lebih yakin, aku
bertanya padamu, benarkah ini kantong yang aku kirimkan kepadamu? Untuk itu,
aku datang ke sini untuk menguak rahasia ini.”
Abu Abdillah
tertawa dan berkata, “Usamah lebih
mengutamakan kamu daripada dirinya, dan memberikan kantong itu, sebagaimana kamu lebih mengutamakan
diriku daripada dirimu sendiri, Hamdi.”
“Dan kamu lebih mengutamakan Usamah atas
dirimu dan keluargamu. Apa pendapatmu, Abu Abdillah, jika kita bagi uang ini
bertiga?” kata Hamdi sambil tersenyum.
Abu Abdillah
menjawab,”Barakallahu fika, semoga Allah
memberkahimu, Hamdi.”
Akhirnya,
uang seratus dinar itu dibagi tiga.
Kisah
keluhuran budi tiga lelaki ini didengar
oleh Khalifah. Subhanallah, Sang Khalifah pun tersentuh ketika mendengarnya. Ternyata,
masih ada di antara umat Nabi Muhammad saw yang berjiwa mulia, laksana
malaikat. Khalifah langsung memberi perintah kepada bendahara negara untuk
memberi hadiah kepada tiga lelaki berjiwa malaikat itu, masing-masing sebesar
sepuluh ribu dinar.
Begitu
menerima uang dari khalifah, Abu Abdillah langsung sujud syukur lalu menemui
istrinya dengan muka berseri-seri, “Ummi
Abdillah, sekarang lihatlah, apa pendapatmu, apakah Allah menelantarkan kita?”.
Sang istri
menjawab dengan mata berkaca-kaca, “Tidak
suamiku. Demi Allah, Dia Maha Pemurah, Dia tidak mungkin menelantarkan kita. Bahkan,
Dialah yang melimpahkan rezeki-Nya kepada kita dengan tiada putusnya.”
“Sekarang kau tahu istriku… bahwa
menginfakkan harta di jalan Allah adalah bisnis yang pasti keuntungannya dan
tidak akan rugi selamanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar