"Islamic Quotes"

Kamis, Oktober 28, 2010

PERANG MU’TAH

Perang ini terjadi pada bulan Jumadil ‘Ula tahun ke -18 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa ini sekarang bernama Kirk.
Yang menjadi sebab terjadinya peperangan ini ialan terbunuhnya al-Harits bin Umair al-Azdi, utusan Rasulullah saw kepada Raja Bashra. Setelah RAsulullah saw menyerukan kaum muslimin agar berangkat menuju Syam, dengan serta merta berkumpullah sebanyak tiga ribu tentara kaum Muslimin yang siap berangkat ke Mu’tah.
Rasulullah saw tidak ikut serta bersama mereka. Dengan demikian, anda tahu bahwa ini bukan ghazwah, melainkan hana sariyah. Akan tetapi, hampir semua ulama sirah menamakan ghazwah  karena banyaknya kaum muslimin yang berangkat dan arti penting  yang dikandungnya. Rasulullah saw berpesan kepada mereka, “Yang bertindak sebagai amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila Ja’far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur, hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya” (Hr Bukhari, Ahmad dan Ibu Sa’ad). Selanjutnya Nabi saw mewasiatkan kepada mereka agar sesampainya di sana, mereka menyerang dengan meminta pertolongan Allah.
Ibnu Ishaq berkata, “Rasulullah saw bersama beberapa sahabatnya mengucapkan selamat jalan kepada semua pasukan dan para komandan mereka ketika keluar dari Madinah. Pada saat itu, Abdullah bin Rawahah menangis tersedu-sedu. Orang-orang kemudian bertanya, “Apa yang menyebabkan Andan menangis?”. Ia menjawab, “Demi Allah, bukan karena saya cinta dunia, juga bukan karena perpisahan dengan kalian, tetapi aku mendengar Rasulullah saw membaca salah satu ayat al-Qur’an yang menyebutkan neraka,
Dan tidak ada seorangpun di antaramu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Qs Maryam 19:71).
Aku tidak tahu, apakah akan kembali setelah mendatanginya?”
Ketika pasukan itu berangkat, kaum Muslimin mengucapkan do’a, “Semoga Allah menyertai kalian, melindungi kalian, dan mengembalikan kalian pulang dalam keadaan baik-baik”. Abdullah bin Rawahah mengatakan, “Tetapi aku memohon ampunan kepada ar-Rahman dan tebasan pedang yang mengakhiri kehidupan atau lemparan tembok ke ara dada  menembus lambung dan jantung; agar orang yang menziarahi pusaraku berdo’a, ‘ Semoga Allah melimpahkan petunjuk dan karunia-Nya kepada orang yang telah berperang.”
Setelah kaum muslimin bergerak meninggalkan Madinah, musuhpun mendengar kebarangkatan mereka. Mereka kemudian mempersiapkan pasukan besar guna menghadapi kekuatan kaum muslimin. Heraclius mengerahkan lebih dari seratus ribu tentara Rowami, sedangkan Syurahbil bin Amr mengerahkan seratus tentara yang terdiri atas kabilah Lakham, Judzan, Qain dan Bahra’.
Mendengar berita ini, kaum muslimin kemudian berhenti selama dua malam di daerah bernama Mu’an guna merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Beberapa orang diantaranya berpendapat, ‘Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah saw guna melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi atau memerintahkan sesuatu yang harus kita lakukan.” Akan tetapi, Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Ia bahkan mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api.
”Hai saudara-saudara, mengapa kalian tidak menyukai mati syahid yang menjadi tujuan kita berangkat ke medan perang ini! Kita berperang tidak mengandalkan banyaknya jumlah pasukan atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah kepada kita. Karena itulah, marilah kita maju! Tidak ada pilihan lain kecuali salah satu dari dua kebijakan: menang atau mati syahid”
Pasukan kedua belah pihak bertemu di Kirk. Dari segi jumlah personil dan senjata, kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatan kaum muslimin. Zaid bin Haritsah bersama kaum muslimin bertempur menghadapi musuh hingga ia gugur di ujung tombak musuh. Ja’far kemudian mengambil alih panji peperangan dan maju menerjang musuh dengan berani. Di tengah sengitnya pertempuran, ia turun dari kudanya lalu membunuh, melesat, menerjang pasukan Romawi seraya bersya’ir,
“Álangkah dekatnya surga!
Harumnya semerbak dan segarnya minuman
Kita hujamkan siksa ke atas orang-orang Romawi
Yang kafir nun jauh nasibnya
Pastilah aku yang memeranginya.”
Ia terus maju bertempur sampai tertebas oleh pedang orang Romawi yang memotong tubuhnya menjadi dua. Di tubuhnya terdapat lima puluh tusukan. Semuanya di bagian depan (Hr. Bukhari). Panji peperangan kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia maju memimpin pertempuran seraya bermadah,
“Wahai jiwa, engkau harus terjun
Dengan suka atau terpaksa.
Musuh-musuh telah maju ke medan laga.
Tidakkah engkau rindukan surga
Telah lama engkau hidup tenang.
Engkau hanya setetes air yang hina.
Ia terus maju bertempur sampai gugur menjadi syahid. Kaum Muslimin kemudian menyepakati Khalid bin Walid sebagai panglima perang. Ia kemudian menggempur musuh hingga berhasil memukul mundur. Pada saat itulah, Khalid mengambil langkah strategi menarik tentaranya ke Madinah.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas ra bahwa sebelum kaum Muslimin mendengar berita gugurnya tiga orang panglima perang mereka, Rasulullah saw menyampaikan berita gugurnya Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah kepada mereka. Beliau bersabda, ‘Zaid memegang panji kemudian gugur. Panji itu diambil oleh Ja’far dan ia pun gugur. Panji itu diambil oleh Ibnu Rawahah dan ia pun gugur . . “ saat itu, beliau meneteskan air mata seraya melanjutkan sabdanya, ‘ . . . Akhirnya panji itu diambil oleh ‘Pedang Allah’ (Khalid bin Walid) dan akhirnya Allah mengaruniakan kemenangan kepada mereka (kaum muslimin).
Hadist ini, seperti anda ketahui, menunjukkan bahwa pada akhirnya Allah memberikan dukungan kemenangan kaum muslimin, tidak sebagaimana dikatakan oleh sebagian perawi sirah bahwa kaum Muslimin terpukul mundur dan kocar-kacir sehingga setelah itu kembali ke Madinah. Barangkali maksud orang-orang yang mengatakan hal ini ialah bahwa kaum Muslimin tidak mengejar tentara-tentara Romawi dan para pendukungnya pada saat kelelahan mereka dari posisi-posisi mereka karena khawatir terhadap pasukan kaum muslimin, kemudian pasukan Muslimin kembali ke Madinah. Tak pelak lagi, ini merupakan strategi bijaksana yang diambil oleh Khallid bin Walid ra.
Ibnu Hajar berkata, Di dalam al-Maghazi-nya—buku sirah yang sangat terpercaya – Musa bin Uqbah menyebutkan, ‘Panji itu kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan ia pun gugur. Kaum muslimin kemudian mengangkat Khalid bin Walid (sebagai panglima perang) dan akhirnya Allah mengalahkan musuh dan memenangkan kaum Muslimin’. Imam bin Khatsir berkata, “Dapat disimpulkan bahwa Khalid mengatur strategi dengan membawa mundur kaum Muslimin dan bertahan. Keesokan harinya, ia memulai mengubah posisi pasukan, yang tadinya di sayap kanan dipindahkan ke sayap kiri dan sebaliknya untuk memberikan kesan kepada musuh bahwa kaum muslimin mendapatkan bala bantuan. Khalid kemudian menyerang mereka dan berhasil memukul mundur, tetapi khalid tidak mengejar mereka dan melihat kembalinya kaum muslimin (ke Madinah) merupakan pampasan yang besar”. (Lihat Fathul Bari)
Menjelang masuk kota Madinah, mereka disambut oleh Rasulullah saw dan anak-anak yang berhamburan menjemput mereka. Rasulullah saw bersabda, ‘Ambillah anak-anak dan gendonglah mereka. Berikan kepadaku anak Ja’far!” Kemudian dibawalah Abdullah bin Ja’far dan digendong oleh Nabi saw. Orang-orang meneriaki pasukan dengan ucapan,
“Wahai orang-orang yang kari! Kalian lari dari jalan Allah”.
Akan tetapi, RASulullah saw membantah,
“Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mundur untuk menyerang balik, insya Allah)

BEBERAPA ‘IBRAH
                Diantara hal yang menimbulkan decak kekaguman dalam peperangan ini ialah perbedaan besar antara jumlah pasukan kaum muslimin dan jumlah pasukan Romawi yang didukung oleh orang-orang Musyrikin Arab. Seperti Anda ketahui, jumlah pasukan musyrikin itu mencapai 200.000 personil, sebagaiman disebutkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Sa’ad dan kebanyakan penulis Sirah. Sementara itu, jumlah pasukan muslimin tidak mencapai 3.000. ini berarti jumlah pasukan musyrikin dan Romawi tidak kurang dari lima puluh kali lipat jumlah pasukan Muslimin.
                Perbandingan jumlah yang sangat tidak seimbang ini, jika anda renungkan menjadikan pasukan muslimin berada di hadapan mobilisasi pasukan secara besar-besaran dari Romawi dan sekutunya (musyrikin Arab). Laksana parit kecil menghadapi lautan besar yang bergelombang. Dari segi peralatan dan senjata perangpun, pasukan musyrikin jauh lebih besar dan canggih, sedangkan kaum muslimin justru tengah menghadapi kekurangan dan paceklik.
                Anehnya, semua ini --- padahal mereka berangkat tanpa Nabi saw dalam sebuah Sariyah--- tidak menggentarkan kaum muslimin, bahkan semua kekuatan tersebut sama sekali tidak dijadikan masalah berat. Padahal kalau mereka melihat pasukan yang mengepungnya, niscaya mereka akan seperti sebuah batu kecil di tengah padang pasir.
                Kekaguman kita akan semakin bertambah besar manakala kita melihat kaum muslimin dengan tegar dan berani menghadapi peperangan yang tidak seimbang ini. Amir (panglima) perang mereka yang pertama, kedua, dan ketiga gugur, tetapi mereka tetap tegar menerjang pintu syahadah sehingga Allah memasukkan rasa takut ke dalam hati pasukan musyrikin tanpa adanya sebab yang terlihat dan akhirnya pasukan muslimin berhasil memukul mundur pasukan musyrikin dan membunuh sejumlah besar tentara mereka.
                Akan tetapi, semua kekaguman dan keheranan ini akan segera sirna manakala kita mengingat apa yang dapat dilakukan oleh keimanan kepada Allah, sikap tawakal semata-mata kepada-Nya dan yakin akan janji-Nya.
                Bukan hal yang mengherankan bagi kaum muslimin --- jika mereka benar-benar Muslim --- kalau mereka tidak seperti itu. Benar-benar suatu keanehan jika kaum muslimin menjadikan soal jumlah personel dan kecanggihan peralatan itu sebagai bahan pikiran mereka, disamping janji kemenangan dan dukungan dari Allah atau surga kenikmatan yang abadi. Kaum muslimin--- seperti dikatakan oleh Abdullah bin Rawahah --- tidak berperang mengandalkan banyaknya  jumlah pasukan atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah kepada kita.
                Selain itu, peperangan ini mengandung sejumlah pelajaran penting, diantarnya sebagai berikut.
                Pertama, taushiah (pesan) Nabi saw tersebut menunjukkan bahwa seorang khalifah atau pemimpin kaum muslimin boleh mengangkat seorang amir dengan suatu syara atau beberapa amir bagi kaum muslimin secara berurutan, sebagaimana dilakukan Rasulullah saw dalam pengangkatan Zaid kemudian Ja’far dan Abdullah bin Rawahah. Para ulama berkata, “Yang benar, apabila seorang khalifah telah melakukan pengangkatan beberapa amir, pengangkatan semuanya dinyatakan sah dalam waktu yang sama secara serentak, tetapi tidak dilaksanakan kecuali sesuai urutan.” (Lihat Fathul Bari)
                Kedua, taushiah Rasulullah saw juga menunjukkan disyariatkannya ijtihad kaum muslimin dalam memilih amir mereka apabila amir mereka tidak ada (meninggal) atau seorang khalifah menyerahkan pemilihannya kepada mereka. Berkata ath-Thahawi, “Ini adalah dasar yang menegaskan bahwa kaum muslimin wajib mengajukan seorang imam guna menggantikan imam yang tidak ada sampai ia datang”.
                Taushiah ini juga menunjukkan disyariatkannya beberapa ijtihad bagi kaum muslimin di masa hidup Rasulullah saw.
                Ketiga, seperti anda ketahui bahwa Nabi saw menyampaikan berita gugurnya Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada para sahabatnya seraya kedua matanya meneteskan air mata, padahal jarak antara Nabi saw dan pasukan muslimin sangat jauh.
                Ini menunjukkan bahwa Allah telah melipat bumi untuk Nabi-Nya sehingga beliau bisa melihat keadaan kaum muslimin yang sedang berperang di perbatasan Syam dan peristiwa-peristiwa yang dialami para sahabatnya. Ini termasuk perkara luar biasa yang banyak dikaruniakan Allah kepada kekasih-Nya.
                Hadist itu sendiri menunjukkan betapa besar kasih sayang Nabi saw kepada sahabatnya. Bukan hal kecil, seorang Nabi menangis di hadapan para sahabatnya saat menyampaikan berita para syuhada tersebut. Anda tentunya memahami bahwa menangisnya Rasulullah saw  atas kematian mereka ini tidak bertentangan dengan sikap ridha terhadap qadha dan qadhar Allah, karena sebagaimana dikatakan Nabi saw, mata ini bisa meneteskan air mata dan hati pun bisa bersedih. Itu adalah kelembutan alami dan rahmat yang difitrahkan Allah kepada mereka.
                                Keempat, hadist mengenai penyampaian Nabi saw tentang berita ketiga orang syuhada tersebut mencatat keutamaan khusus bagi khalid bin walid ra. Rasulullah saw di akhir sabdanya menegaskan kepada mereka. “Peristiwa ini merupakan peperangan yang pertama diikuti Khalid bin Walid dalam barisan kaum muslimin sebab belum lama ia menyatakan dirinya masuk islam. Dari sini, anda tahu bahwa nabi saw-lah yang memberikan panggilan ‘Pedang Allah’ kepada Khalid bin Walid ra.
                Di dalam peperangan ini, Khalid ra telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid sendiri bahwa ia berkata, “Dalam perang Mu’tah, sembilan bilah pedang patah di tangaku sampai tidak ada pedang yang tertinggal di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman.” Ibnu Hajar berkata, ‘Hadist ini menunjukkan bahwa kaum muslimin telah banyak membunuh musuh mereka.
                Adapun tentang sebab ucapan kaum muslimin kepada pasukan mereka ketika kembali ke Madinah, ‘Wahai orang-orang yang lari! Kalian lari dari jalan Allah, “ adalah karena mereka tidak mengejar terus orang-orang Romawi yang sudah kalah itu dan meninggalkan daerah yang telah direbut melalui peperangan, sebab hal semacam ini tidak lumrah di kalangan mereka dalam peperangan peperangan yang lain. Khalid menilai cukup sampai sebatas itu saja kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi, seperti anda ketahui, tindakan tersebut merupakan langkah bijaksana yang diambil oleh Khalid ra demi menjaga pasukan muslimin dan kesan kehebatan mereka (tentara muslimin) di hati orang-orang Romawi itu. Karena itu, Rasulullah saw membantah mereka dengan sabda beliau, “Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mereka mundur untuk menyerang balik, insya Allah.” ****


Taken From: SIRAH NABAWIYAH, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buhty


Tidak ada komentar:

Posting Komentar