Perang
ini terjadi pada bulan Jumadil ‘Ula tahun ke -18 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah
desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa ini sekarang bernama Kirk.
Yang
menjadi sebab terjadinya peperangan ini ialan terbunuhnya al-Harits bin Umair
al-Azdi, utusan Rasulullah saw kepada Raja Bashra. Setelah RAsulullah saw
menyerukan kaum muslimin agar berangkat menuju Syam, dengan serta merta
berkumpullah sebanyak tiga ribu tentara kaum Muslimin yang siap berangkat ke Mu’tah.
Rasulullah
saw tidak ikut serta bersama mereka. Dengan demikian, anda tahu bahwa ini bukan
ghazwah, melainkan hana sariyah. Akan tetapi, hampir semua ulama
sirah menamakan ghazwah karena banyaknya
kaum muslimin yang berangkat dan arti penting
yang dikandungnya. Rasulullah saw berpesan kepada mereka, “Yang
bertindak sebagai amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid
gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila Ja’far gugur, Abdullah bin
Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur, hendaklah kaum Muslimin
memilih penggantinya” (Hr Bukhari, Ahmad dan Ibu Sa’ad). Selanjutnya Nabi saw
mewasiatkan kepada mereka agar sesampainya di sana, mereka menyerang dengan
meminta pertolongan Allah.
Ibnu Ishaq
berkata, “Rasulullah saw bersama beberapa sahabatnya mengucapkan selamat jalan
kepada semua pasukan dan para komandan mereka ketika keluar dari Madinah. Pada saat
itu, Abdullah bin Rawahah menangis tersedu-sedu. Orang-orang kemudian bertanya,
“Apa yang menyebabkan Andan menangis?”. Ia menjawab, “Demi Allah, bukan karena
saya cinta dunia, juga bukan karena perpisahan dengan kalian, tetapi aku
mendengar Rasulullah saw membaca salah satu ayat al-Qur’an yang menyebutkan
neraka,
“Dan tidak ada seorangpun di antaramu,
melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian
yang sudah ditetapkan.” (Qs Maryam 19:71).
Aku tidak
tahu, apakah akan kembali setelah mendatanginya?”
Ketika
pasukan itu berangkat, kaum Muslimin mengucapkan do’a, “Semoga Allah menyertai
kalian, melindungi kalian, dan mengembalikan kalian pulang dalam keadaan
baik-baik”. Abdullah bin Rawahah mengatakan, “Tetapi aku memohon ampunan kepada ar-Rahman dan tebasan pedang yang
mengakhiri kehidupan atau lemparan tembok ke ara dada menembus lambung dan jantung; agar orang yang
menziarahi pusaraku berdo’a, ‘ Semoga Allah melimpahkan petunjuk dan
karunia-Nya kepada orang yang telah berperang.”
Setelah
kaum muslimin bergerak meninggalkan Madinah, musuhpun mendengar kebarangkatan
mereka. Mereka kemudian mempersiapkan pasukan besar guna menghadapi kekuatan
kaum muslimin. Heraclius mengerahkan lebih dari seratus ribu tentara Rowami,
sedangkan Syurahbil bin Amr mengerahkan seratus tentara yang terdiri atas
kabilah Lakham, Judzan, Qain dan Bahra’.
Mendengar
berita ini, kaum muslimin kemudian berhenti selama dua malam di daerah bernama
Mu’an guna merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Beberapa orang
diantaranya berpendapat, ‘Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah saw
guna melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau menambah kekuatan kita dengan
pasukan yang lebih besar lagi atau memerintahkan sesuatu yang harus kita
lakukan.” Akan tetapi, Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut.
Ia bahkan mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api.
”Hai saudara-saudara, mengapa kalian tidak menyukai
mati syahid yang menjadi tujuan kita berangkat ke medan perang ini! Kita
berperang tidak mengandalkan banyaknya jumlah pasukan atau besarnya kekuatan,
tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah kepada kita. Karena
itulah, marilah kita maju! Tidak ada pilihan lain kecuali salah satu dari dua
kebijakan: menang atau mati syahid”
Pasukan
kedua belah pihak bertemu di Kirk. Dari segi jumlah personil dan senjata,
kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatan kaum muslimin. Zaid bin Haritsah
bersama kaum muslimin bertempur menghadapi musuh hingga ia gugur di ujung
tombak musuh. Ja’far kemudian mengambil alih panji peperangan dan maju
menerjang musuh dengan berani. Di tengah sengitnya pertempuran, ia turun dari
kudanya lalu membunuh, melesat, menerjang pasukan Romawi seraya bersya’ir,
“Álangkah dekatnya surga!
Harumnya semerbak dan segarnya minuman
Kita hujamkan siksa ke atas orang-orang Romawi
Yang kafir nun jauh nasibnya
Pastilah aku yang memeranginya.”
Ia terus
maju bertempur sampai tertebas oleh pedang orang Romawi yang memotong tubuhnya
menjadi dua. Di tubuhnya terdapat lima puluh tusukan. Semuanya di bagian depan
(Hr. Bukhari). Panji peperangan kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia maju
memimpin pertempuran seraya bermadah,
“Wahai jiwa, engkau harus terjun
Dengan suka atau terpaksa.
Musuh-musuh telah maju ke medan laga.
Tidakkah engkau rindukan surga
Telah lama engkau hidup tenang.
Engkau hanya setetes air yang hina.
Ia terus
maju bertempur sampai gugur menjadi syahid. Kaum Muslimin kemudian menyepakati
Khalid bin Walid sebagai panglima perang. Ia kemudian menggempur musuh hingga
berhasil memukul mundur. Pada saat itulah, Khalid mengambil langkah strategi
menarik tentaranya ke Madinah.
Imam Bukhari
meriwayatkan dari Anas ra bahwa sebelum kaum Muslimin mendengar berita gugurnya
tiga orang panglima perang mereka, Rasulullah saw menyampaikan berita gugurnya
Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah kepada mereka. Beliau bersabda, ‘Zaid memegang panji kemudian gugur. Panji itu
diambil oleh Ja’far dan ia pun gugur. Panji itu diambil oleh Ibnu Rawahah dan
ia pun gugur . . “ saat itu, beliau meneteskan air mata seraya melanjutkan
sabdanya, ‘ . . . Akhirnya panji itu
diambil oleh ‘Pedang Allah’ (Khalid bin Walid) dan akhirnya Allah mengaruniakan
kemenangan kepada mereka (kaum muslimin).’
Hadist
ini, seperti anda ketahui, menunjukkan bahwa pada akhirnya Allah memberikan
dukungan kemenangan kaum muslimin, tidak sebagaimana dikatakan oleh sebagian
perawi sirah bahwa kaum Muslimin terpukul mundur dan kocar-kacir sehingga
setelah itu kembali ke Madinah. Barangkali maksud orang-orang yang mengatakan
hal ini ialah bahwa kaum Muslimin tidak mengejar tentara-tentara Romawi dan
para pendukungnya pada saat kelelahan mereka dari posisi-posisi mereka karena
khawatir terhadap pasukan kaum muslimin, kemudian pasukan Muslimin kembali ke
Madinah. Tak pelak lagi, ini merupakan strategi bijaksana yang diambil oleh
Khallid bin Walid ra.
Ibnu
Hajar berkata, Di dalam al-Maghazi-nya—buku
sirah yang sangat terpercaya – Musa bin Uqbah menyebutkan, ‘Panji itu kemudian
diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan ia pun gugur. Kaum muslimin kemudian
mengangkat Khalid bin Walid (sebagai panglima perang) dan akhirnya Allah
mengalahkan musuh dan memenangkan kaum Muslimin’. Imam bin Khatsir berkata,
“Dapat disimpulkan bahwa Khalid mengatur
strategi dengan membawa mundur kaum Muslimin dan bertahan. Keesokan harinya, ia
memulai mengubah posisi pasukan, yang tadinya di sayap kanan dipindahkan ke
sayap kiri dan sebaliknya untuk memberikan kesan kepada musuh bahwa kaum
muslimin mendapatkan bala bantuan. Khalid kemudian menyerang mereka dan
berhasil memukul mundur, tetapi khalid tidak mengejar mereka dan melihat
kembalinya kaum muslimin (ke Madinah) merupakan pampasan yang besar”.
(Lihat Fathul Bari)
Menjelang
masuk kota Madinah, mereka disambut oleh Rasulullah saw dan anak-anak yang
berhamburan menjemput mereka. Rasulullah saw bersabda, ‘Ambillah anak-anak dan gendonglah mereka. Berikan kepadaku anak Ja’far!”
Kemudian dibawalah Abdullah bin Ja’far dan digendong oleh Nabi saw. Orang-orang
meneriaki pasukan dengan ucapan,
“Wahai orang-orang yang kari! Kalian lari dari jalan
Allah”.
Akan tetapi,
RASulullah saw membantah,
“Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mundur
untuk menyerang balik, insya Allah)
BEBERAPA ‘IBRAH
Diantara hal yang menimbulkan
decak kekaguman dalam peperangan ini ialah perbedaan besar antara jumlah
pasukan kaum muslimin dan jumlah pasukan Romawi yang didukung oleh orang-orang
Musyrikin Arab. Seperti Anda ketahui, jumlah pasukan musyrikin itu mencapai 200.000
personil, sebagaiman disebutkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Sa’ad dan kebanyakan
penulis Sirah. Sementara itu, jumlah pasukan muslimin tidak mencapai 3.000. ini
berarti jumlah pasukan musyrikin dan Romawi tidak kurang dari lima puluh kali
lipat jumlah pasukan Muslimin.
Perbandingan jumlah yang sangat
tidak seimbang ini, jika anda renungkan menjadikan pasukan muslimin berada di
hadapan mobilisasi pasukan secara besar-besaran dari Romawi dan sekutunya
(musyrikin Arab). Laksana parit kecil menghadapi lautan besar yang
bergelombang. Dari segi peralatan dan senjata perangpun, pasukan musyrikin jauh
lebih besar dan canggih, sedangkan kaum muslimin justru tengah menghadapi
kekurangan dan paceklik.
Anehnya, semua ini --- padahal
mereka berangkat tanpa Nabi saw dalam sebuah Sariyah--- tidak menggentarkan
kaum muslimin, bahkan semua kekuatan tersebut sama sekali tidak dijadikan
masalah berat. Padahal kalau mereka melihat pasukan yang mengepungnya, niscaya
mereka akan seperti sebuah batu kecil di tengah padang pasir.
Kekaguman kita akan semakin
bertambah besar manakala kita melihat kaum muslimin dengan tegar dan berani
menghadapi peperangan yang tidak seimbang ini. Amir (panglima) perang mereka
yang pertama, kedua, dan ketiga gugur, tetapi mereka tetap tegar menerjang
pintu syahadah sehingga Allah memasukkan rasa takut ke dalam hati pasukan
musyrikin tanpa adanya sebab yang terlihat dan akhirnya pasukan muslimin
berhasil memukul mundur pasukan musyrikin dan membunuh sejumlah besar tentara
mereka.
Akan tetapi, semua kekaguman dan
keheranan ini akan segera sirna manakala kita mengingat apa yang dapat
dilakukan oleh keimanan kepada Allah, sikap tawakal semata-mata kepada-Nya dan
yakin akan janji-Nya.
Bukan hal yang mengherankan bagi
kaum muslimin --- jika mereka benar-benar Muslim --- kalau mereka tidak seperti
itu. Benar-benar suatu keanehan jika kaum muslimin menjadikan soal jumlah
personel dan kecanggihan peralatan itu sebagai bahan pikiran mereka, disamping
janji kemenangan dan dukungan dari Allah atau surga kenikmatan yang abadi. Kaum
muslimin--- seperti dikatakan oleh Abdullah bin Rawahah --- tidak berperang
mengandalkan banyaknya jumlah pasukan
atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan
Allah kepada kita.
Selain itu, peperangan ini
mengandung sejumlah pelajaran penting, diantarnya sebagai berikut.
Pertama, taushiah (pesan) Nabi saw tersebut menunjukkan bahwa
seorang khalifah atau pemimpin kaum muslimin boleh mengangkat seorang amir
dengan suatu syara atau beberapa amir bagi kaum muslimin secara berurutan,
sebagaimana dilakukan Rasulullah saw dalam pengangkatan Zaid kemudian Ja’far
dan Abdullah bin Rawahah. Para ulama berkata, “Yang benar, apabila seorang
khalifah telah melakukan pengangkatan beberapa amir, pengangkatan semuanya
dinyatakan sah dalam waktu yang sama secara serentak, tetapi tidak dilaksanakan
kecuali sesuai urutan.” (Lihat Fathul Bari)
Kedua, taushiah Rasulullah saw juga menunjukkan disyariatkannya
ijtihad kaum muslimin dalam memilih amir mereka apabila amir mereka tidak ada
(meninggal) atau seorang khalifah menyerahkan pemilihannya kepada mereka. Berkata
ath-Thahawi, “Ini adalah dasar yang menegaskan bahwa kaum muslimin wajib
mengajukan seorang imam guna menggantikan imam yang tidak ada sampai ia datang”.
Taushiah ini juga menunjukkan
disyariatkannya beberapa ijtihad bagi kaum muslimin di masa hidup Rasulullah
saw.
Ketiga,
seperti anda ketahui bahwa Nabi saw
menyampaikan berita gugurnya Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada para
sahabatnya seraya kedua matanya meneteskan air mata, padahal jarak antara Nabi
saw dan pasukan muslimin sangat jauh.
Ini menunjukkan bahwa Allah
telah melipat bumi untuk Nabi-Nya sehingga beliau bisa melihat keadaan kaum
muslimin yang sedang berperang di perbatasan Syam dan peristiwa-peristiwa yang
dialami para sahabatnya. Ini termasuk perkara luar biasa yang banyak
dikaruniakan Allah kepada kekasih-Nya.
Hadist itu sendiri menunjukkan
betapa besar kasih sayang Nabi saw kepada sahabatnya. Bukan hal kecil, seorang
Nabi menangis di hadapan para sahabatnya saat menyampaikan berita para syuhada
tersebut. Anda tentunya memahami bahwa menangisnya Rasulullah saw atas kematian mereka ini tidak bertentangan
dengan sikap ridha terhadap qadha dan qadhar Allah, karena sebagaimana
dikatakan Nabi saw, mata ini bisa meneteskan air mata dan hati pun bisa
bersedih. Itu adalah kelembutan alami dan rahmat yang difitrahkan Allah kepada
mereka.
Keempat, hadist mengenai penyampaian
Nabi saw tentang berita ketiga orang syuhada tersebut mencatat keutamaan khusus
bagi khalid bin walid ra. Rasulullah saw di akhir sabdanya menegaskan kepada
mereka. “Peristiwa ini merupakan peperangan yang pertama diikuti Khalid bin
Walid dalam barisan kaum muslimin sebab belum lama ia menyatakan dirinya masuk
islam. Dari sini, anda tahu bahwa nabi saw-lah yang memberikan panggilan ‘Pedang
Allah’ kepada Khalid bin Walid ra.
Di dalam peperangan ini, Khalid
ra telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat mengagumkan. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Khalid sendiri bahwa ia berkata, “Dalam perang Mu’tah,
sembilan bilah pedang patah di tangaku sampai tidak ada pedang yang tertinggal
di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman.” Ibnu Hajar berkata, ‘Hadist
ini menunjukkan bahwa kaum muslimin telah banyak membunuh musuh mereka.
Adapun tentang sebab ucapan kaum
muslimin kepada pasukan mereka ketika kembali ke Madinah, ‘Wahai orang-orang
yang lari! Kalian lari dari jalan Allah, “ adalah karena mereka tidak mengejar
terus orang-orang Romawi yang sudah kalah itu dan meninggalkan daerah yang
telah direbut melalui peperangan, sebab hal semacam ini tidak lumrah di kalangan
mereka dalam peperangan peperangan yang lain. Khalid menilai cukup sampai
sebatas itu saja kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi, seperti anda
ketahui, tindakan tersebut merupakan langkah bijaksana yang diambil oleh Khalid
ra demi menjaga pasukan muslimin dan kesan kehebatan mereka (tentara muslimin)
di hati orang-orang Romawi itu. Karena itu, Rasulullah saw membantah mereka
dengan sabda beliau, “Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mereka
mundur untuk menyerang balik, insya Allah.” ****
Taken From: SIRAH NABAWIYAH, Dr. Muhammad Sa’id
Ramadhan Al-Buhty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar