[Disalin
dari buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al
Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani
Press]
Perang Dzatur Riqaa‘
Menurut para ulama sirah, peperangan ini terjadi pada tahun keempat
Hijrah, sebulan setengah setelah pengusiran orang-orang Yahudi banu
Nadlir. Tetapi Bukhari dan sebagian ahli hadits menguatkan pendapat yang
mengatakan peperangan ini terjadi setelah perang Khaibar.
Sebab terjadinya peperangan ini, karena adanya pengkhianatan sebagian
besar kabilah Nejd terhadap kaum Muslimin. Pengkhianatan yang
mengakibatkan terbunuhnya 70 da‘I yang keluar untuk menyeru ke jalan
Allah swt.
Rasulullah saw berangkat menuju kabilah-kabilah Muharib dan Bani
Tsa‘labah. Waktu itu Rasulullah saw mengangkat Abu Dzar al-Ghiffari
sebagai Amir Madinah. Rasulullah saw berkemah di suatu tempat di Nejd
yaitu di kawasan Ghathafan yang dikenal dengan sebutan Nakhl. Tetapi
Allah swt memasukkan rasa takut ke dalam hati kabilah-kabilah itu
padahal seperti dikatakan Ibnu Hisyam, mereka berjumlah sangat besar
sehingga mereka melarikan diri dari kemungkinan serbuan kaum Muslimin
dan tidak terjadi pertempuran sama sekali.
Sungguhpun demikian, kisah peperangan ini mencatat beberapa peristiwa yang perlu kita renungkan. Di antaranya ialah :
Pertama,
Diriwayatkan di dalam Ash-Shahihain dari Abi Musa al-Asyari ia berkata:
“Kami keluar bersama Rasulullah saw dalam suatu peperangan. Waktu itu
kami enam orang bergantian mengendarai satu unta“. Lanjut Abu Musa
Al-Asyari: “Kemudian telapak kaki kami pecah-pecah. Telapak kaki saya
sendiri pecah dan kuku-kukunya pun copot. Waktu itu kami membalut
kaki-kaki kami dengan sobekan kain. Sehingga aku menyebut peperangan ini
dengan perang Dzatur Riqaa‘ (sobekan kain)“. Abu Musa Al-Asyari
menyebutkan Hadits ini, tetapi kemudian tidak menyukainya. Ia berkata,
seolah-olah dia tidak suka menceritakan perjuangan tersebut.
Kedua,
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw, melaksanakan shalat
khauf di peperangan Dzatur Riqaa‘. Satu kelompok berbaris bersama
Rasulullah saw , sementara satu kelompok lain menghadap ke arah musuh.
Kemudian Rasulullah saw shalat satu rakaat bersama kelompok yang
berbaris itu lalu beliau berdiri tegak sementara mereka
menyempurnakannya. Kemudian mereka mundur lalu berbaris menghadap musuh
sedangkan kelompok yang kedua maju kemudian Rasulullah saw mengimami
mereka melanjutkan raka‘at shalatnya yang masih belum selesai. Kemudian
Rasulullah saw duduk sementara mereka menyempurnakan shalat kemudian
salam mengikuti Rasulullah saw.
Ketiga,
Bukhari juga meriwayatkan dari Jabir ra: “Ketika Nabi saw kembali kami
pun ikut kembali bersamanya. Ketika datang waktu qailullah (tengah hari)
kami tiba di sebuah lembah yang banyak pepohonannya. Kemudian
Rasulullah saw turun dan orang-orang pun berhambur mencari tempat teduh
di bawah pohon. Rasulullah saw istirahat di bawah pohon dan
menggantungkan pedangnya di situ. Jabir melanjutkan: “Kemudian kami
tidur pulas, tetapi tiba-tiba Rasulullah saw memanggil-manggil kami.
Setelah kami datang ternyata di sisinya ada seorang Arab gunung sedang
duduk. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Orang ini telah menyambar
pedangku pada waktu aku sedang tidur. Ketika aku terjaga, seraya
menghunus pedang itu dia berkata: “Siapa yang dapat menyelamatkanmu dari
pedangku?“ Lalu aku menjawab: “Allah swt. Nah sekarang dia sedang duduk
di sini." Kemudian Rasulullah saw tidak memberikan hukuman apa-apa pada
orang itu.“
Keempat,
Ibnu Ishaq dan Ahmda meriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata: “Kami
pernah berangkat bersama Rasulullah saw pada peperangan Dzatur Riqaa‘.
Pada kesempatan itu tertawanlah seorang wanita dari kaum Musyrikin.
Setelah Rasulullah saw berangkat pulang, suami dari wanita itu, yang
sebelumnya tidak ada di rumah, baru datang. Kemudian lelaki itu
bersumpah tidak akan berhenti mencari istrinya sebelum dapat mengalirkan
darah pada sahabat Rasulullah saw. Lalu lelaki itu keluar mengikuti
jejak perjalanan Nabi saw. Kemudian Nabi saw turun di suatu tempat lalu
bersabda: “Siapakah di antara kalian yang bersedia menjaga kita semua
malam ini?“. Jabir berkata: “Kemudian majulah seorang dari Muhajirin dan
seorang dari Anshar, lalu keduanya berkata: “Kami wahai Rasulullah.“
Nabi saw berpesan: “Jagalah kami di mulut lorong ini.“ Jabir berkata:
“Waktu itu, Rasulullah saw bersama para sahabatnya berhenti istirahat di
suatu lorong dari sebuah lembah.“
Ketika dua sahabat itu keluar ke mulut lorong, sahabat Anshar berkata
kepada sahabat Muhajirin: “Pukul berapakah kau inginkan aku berjaga,
apakah permulaan malam atau akhir malam ?“. Sahabat Muhajirin menjawab:
“Jagalah kami di awal malam.“ Kemudian sahabat Muhajirin itu berbaring
dan tidur. Sedangkan sahabat Anshar melakukan shalat. Jabir berkata:
"Datanglah lelaki Musyrik itu dan ketika mengenali sahabat Anshar itu
dia faham bahwa sahabat itu sedang tugas berjaga. Kemudian orang itu
memanahnya dan tepat mengenainya, lalu sahabat Anshar mencabut anak
panah dan terus berdiri tegak. Kemudian orang itu memanahnya lagi dan
tepat mengenainya, lalu dicabutnya juga kemudian sahabat itu ruku‘ dan
sujud. Setelah itu baru dia membangunkan sahabatnya seraya berkata:
“Duduklah karena aku telah dilukai." Jabir berkata: “Kemudian sahabat
muhajir melompat. Ketika orang Musyrik melihat keduanya dia sadar bahwa
dirinya telah diketahui lalu ia pun melarikan diri. Ketika sahabat
muhajir mengetahui darah yang melumuri sahabatnya Anshar, ia berkata:
“Subhanallah, kenapa kamu tidak membangunkan aku dari tadi ?“ dia
menjawab: “Aku sedang membaca suatu surat dan aku tidak ingin
memutusnya. Setelah berkali-kali orang itu memanahku baru aku ruku‘ dan
memberitahukan kepadamu. Demi Allah, kalau bukan karena takut
mengabaikan tugas penjagaan yang diperintahkan Rasulullah saw kepadaku
niscaya nafasku akan berhenti sebelum aku membatalkan shalatku.“
Kelima,
Telah meriwayatkan Bukhari, Muslim, Ibnu Sa‘ad di dalam Thabaqat-nya
dari Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya, dari Jabir bin Malik ra, ia berkata
: "Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw, ke peperangan Dzatur
Riqaa‘ dengan mengendarai untaku yang sangat lemah. Ketika Rasulullah
saw berangkat pulang para sahabat pun bergerak maju, kecuali aku,
tertinggal di belakang sehingga Rasulullah saw mendapati aku lalu
bertanya: “Kenapa wahai Jabir ?“ Aku jawab: “Wahai Rasulullah saw, aku
tertinggal bersama untaku yang lambat ini:“ Nabi saw bersabda:
“Dudukanlah dia“. Lalu aku dan Rasulullah saw mendudukannya. Kemudian
Rasulullah saw berkata: “Berikan tongkat yang kau genggam itu padaku.“
Kemudian aku berikan. Rasulullah saw mengambil tongkat itu lalu
memukulkannya pada untaku beberapa kali pukulan, lalu bersabda:
“Sekarang naiklah.“ Kemudian aku menaiki dan berjalan demi Dzat yang
mengutusnya dengan benar – menyalib unta beliau.
Selanjutnya aku berbincang-bincang dengan Rasulullah saw. Beliau berkata
kepadaku: “Maukah kau menjual untamu itu padaku, wahai Jabir ?“ Aku
jawab: “Wahai Rasulullah saw, aku hadiahkan saja untukmu“. Nabi saw
berkata: “Tidak juallah padaku.“ Aku berkata: “Kalau begitu, tawarlah,
wahai Rasulullah.“ Nabi saw menawar: “Aku beli satu dirham“ Aku jawab:
“Tidak, itu merugikan aku, wahai Rasulullah.“ Nabi saw menawar lagi:
“Dua dirham?“ Aku jawab: "Tidak.“ Kemudian Rasulullah saw terus
menaikkan tawarannya sampai mencapai harga satu‘Uqiyah. Lalu aku
bertanya: “Apakah engkau telah rela wahai Rasulullah saw?“ Nabi saw
menjawab: “Ya sudah.“ Aku berkata: “Dia milikmu.“. Nabi saw menjawab:
“Aku terima ..“ Kemudian Nabi saw bertanya: “Wahai Jabir, apakah kamu
sudah menikah?“ Aku jawab: “Sudah wahai Rasulullah saw". Nabi saw
bertanya: “Janda atau gadis?“ Aku jawab: “Janda.“ Nabi saw bersabda:
“Mengapa tidak memilih gadis sehingga kamu dan dia bisa bercumbu mesra?“
Aku jawab: “Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya ayahku telah gugur di
Uhud. Dia meninggalkan sembilan anak wanita. Aku menikah dengan wanita
yang pandai mengemong, trampil merawat dan mengasuh mereka.“ Nabi
bersabda: “Engkau benar, insya Allah. Kalau kita sudah sampai di Shirara
(nama sebuah tempat di Madinah), kita suruh penyembelih untuk memotong
sembelihan. Kita semua tinggal di situ sehari, agar dia (istri Jabir)
mendengar kedatangan kita, lalu mempersiapkan bantalnya“. Aku bertanya:
“Demi Allah swt, wahai Rasulullah saw, kami tidak punya bantal.“ Nabi
saw menjawab: “Dia pasti punya. Karena itu apabila kamu datang,
lakukanlah suatu perbuatan yang menyenangkan.“
Jabir berkata: “Ketika kami sampai di Shirara, Rasulullah saw
memerintahkan tukang sembelih untuk melakukan tugasnya, lalu hari itu
kami tinggal di situ. Keesokan harinya Rasulullah saw bersama kami masuk
Madinah".
Jabir berkata: “Pada pagi hari aku menuntun unta, aku bawa sampai ke
depan pintu rumah Rasulullah saw, kemudian aku duduk di mesjid
berdekatan dengan Rasulullah saw. Setelah keluar, Rasulullah saw melihat
unta dan bertanya: “Apa ini?“ Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah saw,
ini adalah unta yang dibawa oleh Jabir.“ Nabi saw bertanya: “Dimana
Jabir?“ Kemudian aku dipanggil menghadap beliau, lalu beliau bersabda:
“Wahai anak saudaraku, bawalah untamu, dia milikmu.“ Lalu Nabi saw
memanggil Bilal dan bertanya kepadanya: “Pergilah bersama Jabir dan
berikan kepadanya satu 'Uqiyah.“ Kemudian aku pergi bersamanya lalu dia
memberiku satu 'uqiyah dan menambahkan sesuatu padaku. Demi Allah swt,
uang itu terus bertambah dan bisa dilihat hasilnya di rumah kami.“
Beberapa Ibrah
Penelitian terhadap Sejarah Peperangan ini
Para Ulama Sirah telah sepakat sebagaimana kami sebutkan di atas bahwa
peperangan Dzatur Riqaa‘ terjadi sebelum peperangan Khaibar. Sebagian
besar mereka menguatkan bahwa peperangan ini terjadi setelah pengusiran
bani Nadlir pada tahun keempat hijrah. Sebagian mereka, seperti Ibnu
Sa‘ad dan Ibnu Hibban, berpendapat bahwa peperangan ini terjadi pada
tahun kelima Hijrah.
Imam Bukhari menyebutkan di dalam Shahihnya bahwa peperangan ini terjadi
setelah Khabiar. Kendatipun dalam susunan kitabnya peristiwa ini
disebutkan sebelum perang Khaibar. Al-Hafidz Ibnu Hajar menguatkan
pendapat Bukhari dengan alasan bahwa shalat Khauf (shalat dalam
peperangan) telah disyariatkan pada peperangan Dzatur Riqaa‘ sementara
itu Nabi saw tidak melaksanakan shalat Khauf ini pada perang Khandaq,
tetapi mengqadlanya. Selanjutnya Ibnu Hajar menguatkan pendapat ini
dengan sebuah riwayat yang terdapat di dalam ash-Shahihain dari Abu Musa
Al-Asyari baha ia (Abu Musa Al-Asyari) menyebutkan tentang bagaimana
kaki para sahabat pecah-pecah dalam perang Dzatur Riqaa‘ sehingga mereka
membalutnya dengan cabikan kain, padahal Abu Musa Al-Asyari belum
kembali dari Habasyah kecuali setelah perang Khaibar. Membaca
dalil-dalil ini, Ibnu Qaiyyim tidak berani memastikannya kemudian
berkata: “Ini menunjukkan bahwa perang Dzatur Riqaa‘ kemungkinan
terjadinya setelah perang Khandaq.“
Saya berkata: “Dapat dipastikan bahwa peperangan Dzatur Riqaa‘ ini
terjadi sebelum perang Khandaq. Karena di dalam riwayat yang shahih
disebutkan bahwa Jabir ra, pernah meminta ijin kepada Rasulullah saw
untuk pergi ke rumahnya pada perang Khandaq. Ia mengabari istrinya
tentang kelaparan yang dialami Rasulullah saw. Dalam riwayat itu
disebutkan kisah hidangan yang disajikannya kepada Rasulullah saw dan
para sahabatnya. Di dalam kisah ini pula Rasulullah saw berkata kepada
istri Jabir: “Makanlah ini dan berikan yang itu, karena orang-orang
sedang mengalami kelaparan.“ Sementara itu di dalam ash-shahihain
disebutkan juga bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada Jabir pada
peperangan Dzatur Riqaa‘: “Apakah kamu sudah menikah?“ Jawab Jabir:
"Sudah, wahai Rasulullah.“ Ini menunjukkan bahwa Nabi saw, belum
mengetahui sama sekali pernikahannya.
Dengan demikian jelas bahwa peperangan Dzatur Riqaa‘ terjadinya sebelum perang Ahzab (Khandaq), apatah lagi perang Khaibar.
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar bahwa Nabi saw tidak melakukan
shalat Khauf di perang Ahzab (tetapi mengqadlanya) dapat dijawab bahwa
kemungkinan penundaan ini disebabkan berkecamuknya pertempuran antara
kaum Musyrikin dan kaum Muslimin sehingga tidak sempat melakukan shalat.
Mungkin juga karena musuh berada di arah Kiblat, sementara shalat Khauf
yang dilaksanakan pada perang Dzatur Riqaa‘ pada saat musuh tidak di
arah Kiblat. Atau mungkin Nabi saw, menunda shalat itu untuk menjelaskan
bolehnya mengqadla shalat yang terlewat karena kondisi yang tidak
memungkinkannya. Demikian pula penggunaan argumentasi oleh Ibnu Hajar
dengan riwayat Abu Musa Al-Asyari yang disebutkan oleh banyak ulamat
sirah, dapat dijawab bahwa yang dimaksudkan oleh Abu Musa AL-Asyari
ialah peperangan yang lain yang juga disebut dengan Dzatur Riqaa‘.
Dengan dalil bahwa abu Musa Al-Asyari menyebutkan: “Kami pernah
berangkat bersama Rasulullah saw dalam suatu peperangan. Waktu itu kami
enam orang bergantian mengendarai satu unta.“ Padahal dalam perang
Dzatur Riqaa‘ yang sedang kita bicarakan ini jumlah kaum Muslimin lebih
banyak dari itu.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berusaha membantah penjelasan ini, tetapi tidak
banyak berarti karena dalil yang dikemukakan oleh para ulama sirah sudah
sangat kuat dan tegas. Di antaranya hadits Jabir yang telah kami
sebutkan pada masing-masing dari kedua peperangan tersebut.
Mengenai penundaan shalat oleh Nabi saw pada perang Khandaq dan
masalah-masalah yang berkaitan denganya, insya Allah kami bahas secara
detail pada kesempatan mendatang.
Sekalipun tidak terjadi kontak senjata antara kaum Muslimin dan kaum
Musyrikin dalam peperangan ini, tetapi ia menyajikan beberapa peristiwa
yang perlu dikaji dan diambil pelajarannya. Di antaranya :
1. Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asyari
tentang penjelasan sebab penamaan peperangan ini dengan Dzatur Riqaa‘
(sobekan kain), memberikan suatu gambaran yang jelas betapa penderitaan
yang dialami oleh para sahabat Rasulullah saw dalam menyampaikan risalah
Allah swt dan jihad di jalan-Nya. Gambaran ini menjelaskan bahwa mereka
adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki kendaraan (dana) untuk
menunjang jihad dan peperangan yang mereka lakukan. Enam atau tujuh
orang bergantian mengendarai satu ekor unta untuk menempuh jarak
perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan. Tetapi kemiskinan ini tidak
menghalangi mereka untuk menyampaikan risalah mereka: “Risalah dakwah
kepada Allah dan jihad di jalan-Nya.“ Demi tugas ini mereka siap
menanggung segala bentuk resiko dan ujian berat. Telapak kaki mereka
pecah karena menempuh perjalanan panjang di atas padang pasir panas dan
batu kerikil tajam yang menyengat. Kuku-kuku mereka terkelupas karena
keterseokan langkah yang menyandung batu demi batu. Mereka tidak
memiliki apa-apa untuk mengobatinya kecuali harus membalutnya dengan
sobakkan kain mereka yang lusuh. Namun semua itu tidak pernah membuat
mereka lemah semangat atau menyerah. Semuanya itu dianggap kecil dan
ringan bila dibandingkan dengan besarnya tanggung jawab yang dilimpahkan
Allah swt ke atas pundak mereka semenjak mereka menjadi Muslim. Mereka
selalu menepati firman Allah :
"Sesungguhnya Allah swt membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dann harta
mereka dengan (balasan) surga bagi mereka. Mereka berperang di jalan
Allah swt lalu mereka membunuh dan dibunuh …“ QS At-Taubah : 111
Demikianlah teks bai'at yang telah mereka tandatangani dan ikatkan bersama.
Sementara itu anda lihat Abu Musa AL-Asyari tidak suka menceritakan
keadaan ini, setelah keterlepasan kata dan ditanya tentang sebab
penamaan perang ini dengan Dzatur Riqaa‘ (sobekan kain). Ia tidak suka,
dan menyesali perbuatannya itu karena diluar kontrolnya dia telah
menceritakan sesuatu dari amalannya yang dilakukan secara ikhlas demi
mengharapkan ganjaran di sisi Allah swt semata.
Ini menunjukkan seperti dikatakan oleh Imam Nawawi, bahwa seorang Muslim
dianjurkan supaya menyembunyikan (tidak menceritakan) amal-amal
shalihnya dan segala kesusahan serta penderitaannya dalam ketaatan
kepada Allah swt. Ia tidak boleh menunjuk-nunjukan sedikit pun dari
amal-amal shalehnya kecuali untuk suatu kemaslahatan. Seperti
menjelaskan hukum tentang sesuatu dan mengingatkan orang supaya
meneladaninya. Dalam konteks inilah kita harus memahami berita tentang
sebagian perbuatan generasi Salaf (terdahulu).
2. Cara shalat yang dilakukan Rasulullah saw secara berjama‘ah dengan
para sahabatnya dalam peperangan ini merupakan asas disyariatkannya
shalat Khauf.
Cara menunaikan shalat Khauf ada dua. Pertama, khusus jika musuh berada
di arah kiblat. Kedua, khusus jika musuh tidak berada di arah kiblat.
Cara yang kedualah yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam peperangan
Dzatur Riqaa‘ ini. Ketika masuk waktu shalat, pihak musuh berpencar ke
berbagai penjuru dan arah sehingga dikhawatirkan pihak musuh akan
mengawasi kaum Muslimin dari jauh. Bila mereka melihat semua kaum
Muslimin tidak menghadap ke arah mereka dan sibuk menunaikan shalat,
niscaya dengan mudah mereka akan menyerang kaum Muslimin dengan
peralatan perang mereka.
Rasulullah saw memulai shalat berserta dengan satu kelompok dari
shabatnya, sementara para sahabat yang lain mengawasi musuh ke berbagai
arah. Ketika telah menyelesaikan satu rakaat, Rasulullah saw berdiri
menanti, sementara para sahabat yang bermakmum itu menyelesaikan rakaat
kedua sendiri-sendiri. Kemudian mereka pergi menggantikan para sahabat
yang bertugas mengawasi musuh. Selanjutnya kelompok kedua ini datang
lalu berdiri membentuk shaf di belakang Rasulullah saw setelah
menyempurnakan rakat keduanya, Rasulullah saw duduk menanti para sahabat
(keompok kedua) menyempurnakan rakat kedua sendiri-sendiri, kemudian
mereka salam mengikuti Rasulullah saw.
Shalat ini dilakukan dengan cara tersebut, padahal mereka bisa melakukannya dengan dua jama‘ah karena dua sebab :
Pertama,
Tujuan mereka semua untuk berqudwah kepada Rasulullah saw. Ini merupakan
keutamaan yang tidak boleh dilewatkan manakala dapat dilakukan.
Kedua,
Memperpadukan kesatuan Jama‘ah sedapat mungkin, sebab terpecahnya ummat
menjadi beberapa Jama‘ah dalam menunaikan suatu kewajiban adalah
merupakan sesuatu yang makruh (dibenci).
Tetapi para ulama Hanafiah tidak melihat sebab yang kedua ini sehingga
mereka berpendapat, tidak ada alasan untuk mempertahankan cara ini
setelah Rasulullah saw wafat.
3. Kisah seorang Musyrik yang menyambar pedang Rasulullah saw adalah
kisah yang diriwayatkan secara shahih. Kisah ini menunjukkan sejauh mana
perlindungan Allah swt kepada Nabi-Nya. Di samping menambah keyakinan
kita kepada perkara luar biasa yang diberikan Allah swt kepada Nabi-Nya
sehingga kita semakin mantap dan yakin kepada pribadi kenabiannya.
Semestinya sangat mudah bagi orang Musyrik itu yang sudah menghunus
pedang di atas Rasulullah saw yang sedang pulas tertidur untuk
menebaskan pedang dan membunuh Rasulullah saw bahkan orang Musyrik itu
telah demikian siap untuk memanfaatkan kesempatan emas tersebut sehingga
dia bertanya :
"Siapakah yang akan menghalangimu dariku?“
Apa yang terjadi setelah itu sehingga dia gagal melakukannya. Apa yang
terjadi ialah suatu yang tidak pernah terpikirkan oleh orang musyrik
itu, yakni 'inayah (penjagaan) dan perlindungan Allah swt kepada
Rasulullah saw. Inayah Ilahiah inilah yang memasukkan rasa takut ke
dalam hati orang Musyrik itu sehingga dia gemetar dan pedangnya terjatuh
ke tanah, kemudian dia duduk bersimpuh di hadapan Nabi saw menyerahkan
dirinya.
Sesuatu yang perlu anda ketahui dari peristiwa ini ialah bahwa kasus ini merupakan bukti kebenaran janji Allah swt :
"Allah swt melindungimu dari manusia.“ QS al-Maidah : 67
Perlindungan yang dimaksudkan oleh ayat ini tidak berarti bahwa Nabi saw
tidak akan mendapat gangguan atau permusuhan dari kaumnya. Sebab,
gangguan dan permusuhan itu sudah menjadi Sunnatullah bagi para
hamba-Nya. Yang dimaksudkan dengan perlindungan di sini ialah bahwa Nabi
saw tidak akan berhasil dibunuh oleh para musuhnya yang juga ingin
membunuh dakwah Islam yang disampaikannya.
4. Kami sebutkan kisah Jabir bin Abdullah ra yang telah berdialog dengan
Rasulullah saw di tengah perjalanan pulangnya ke Madinah, padahal kisah
ini tidak berkaitan dengan masalah peperangan, karena dialog tersebut
memberikan gambaran yang utuh dan detail tentang akhlak Rasulullah saw
terhadap para sahabatnya. Suatu perlakukan yang menyenangkan,
pembicaraan yang lembut, keramah-tamahan dalam berdialog dan kecintaan
Rasulullah saw terhadap para sahabatnya.
Apabila anda renungkan kisah ini, anda akan menyadari bahwa Nabi saw
sangat empati pada penderitaan yang dialami oleh keluarga Jabir bin
Abdullah. Bapaknya telah gugur sebagai syahid di Uhud. Kemudian sebagai
anak yang paling tua, ia bertanggung jawab mengurus keluarga dan
anak-anak yang ditinggalkan oleh bapaknya. Ditambah lagi dia tidak
memiliki kekayaan material yang mencukupi kebutuhannya.
Seolah-olah Rasulullah saw merasakan keterlambatan Jabir dalam
perjalanan pulang ini sebagai ekspresi dari kondisi secara umum (sudah
menjadi kebiasaan Rasulullah saw apabila berjalan bersama para
sahabatnya, beliau senantiasa memeriksa dan menenangkan hati mereka),
sehingga Rasulullah saw memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bertatap
muka dan berdialog dengan Jabir dalam bahasa yang lembut, menyentuh dan
menyejukkan hati.
Rasulullah saw mengajukan diri untuk membeli untanya. Tawaran ini
hanyalah dimaksudkan sebagai kesempatan yang cocok untuk menghormati dan
membantunya dalam menanggulangi kondisinya tersebut. Kemudian Nabi saw
menanyakan tentang istri dan keluarga dalam bahasa yang santun dan
menenteramkan. Selanjutnya Rasulullah saw menghiburnya dengan menyatakan
bahwa apabila mereka sudah sampai di dekat Madinah, mereka akan tinggal
selama semalam di tempat itu agar para penduduk Madinah mengetahui
kedatangan mereka. Sehingga istrinya Jabir yang baru dinikahinya itu pun
akan menyambut kedatangannya. Jabir pun hanyut terbawa oleh gaya bahasa
Rasulullah saw sehingga dia berkata :
"Demi Allah, wahai Rasulullah saw, kami tidak punya bantal.“
Nabi pun meyakinkan :
"Jangan khawatir! Dia pasti punya!“
Suatu gambaran yang indah tentang perlakuan beliau yang lembut, tutur
bahasa yang menyejukkan dan dialog yang menghibur, yang kita ditakdirkan
tidak pernah menikmatinya di dalam majelis Rasulullah saw, peperangan
dan perjalanannya. Sekalipun demikian, kini kita masih dapat
merasakannya melalui sirahnya yang mulia yang membangkitkan rasa rindu
kita untuk melihat beliau secara langsung dan menyertai peperangan di
bawah pimpinan beliau langsung. Kita kita hanya bisa mendengar dan
membacanya! Ya Allah gantilah semua yang tidak dapat kami nikmati di
dunia ini dengan perjumpaan bersama beliau di surga-Mu yang abadi!
Persiapkanlah kami agar kami dapat mendapatkannya dengan berpegang teguh
terhadap petunjuknya dan mengikuti jejaknya dalam menanggung segala
beban penderitaan di jalan agama-Mu.
5. Setiap Muslim harus banyak merenungkan kisah dua orang Sahabat yang
bertugas menjaga pasukan kaum Muslimin atas perintah dari Rasulullah saw
agar disadari oleh setiap Muslim bagaimana watak jihad Islam dan
bagaimana para sahabat Rasulullah saw melaksanakannya.
Jihad bukanlah sekedar perjuangan yang didadasarkan pada prinsip
perlawanan senjata yang bersifat material semata-mata. Tetapi jihad
sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabatnya adalah
merupakan ibadah terbesar yang mempertautkan seluruh eksistensi seorang
Muslim dengan Penciptanya dalam suatu Ubudiyah yang khusyu‘ dan penuh
konsentrasi. Tidak ada saat-saat yang lebih dekat bagi seorang Muslim
dengan Rabb-nya selain daripada tatkala dia sedang melepaskan dunia dan
menghadapkan wajahnya ke arah kematian dan syahadah.
Oleh sebab itu wajar sekali bila sahabat Anshar, Ibad bin Bisyir
memanfaatkan waktu tugas jaganya di malam hari untuk menunaikan beberapa
rakaat dengan khusyuk berdiri di hadapan Allah swt. Seluruh perasaannya
hanyut melarut dalam munajat kepada-Nya dengan sejumlah ayat al-Quran
yang mulia.
Adalah wajar, jika kemudian dia tidak menghiraukan lesatan anak panah
yang menancap di tubuhnya sampai tiga kali. Karena seluruh dimensi
kemanusiaannya sedang berada pada puncak trasenden tersebut, terbawa
hanyut oleh perasaannya yang sedang menghadap keharibaan Rabb-nya.
Saat-saat ketika dia sedang merasakan lezatnya bermunajat antara hamba
dan Penciptanya .
Dan, ketika dia keluar dari suasana itu barulah dia mulai menoleh kepada
apa yang dirasakananya. Bukan karena rasa sakit yang mulai
dirasakannya, tetapi karena mengingat tanggung jawab yang dibebankan
oleh Rasulullah saw kepadanya. Khawatir tanggung jawab itu akan
terabaikan karena kematiannya. Kekhawatiran inilah yang memaksanya untuk
membangunkan sahabatnya agar menerima amanat menjaga pasukan yang harus
dilakukannya.
Perhatikanlah kalimat yang diucapkannya :
"Demi Allah, kalau bukan karena takut mengabaikan tugas penjagaan yang
diperintahkan Rasulullah saw kepadaku, niscaya nafasku akan terputus
sebelum aku membatalkan shalat.“
Demikianlah watak jihad yang Allah telah menjamin kemenangan kepada para
pendukungnya, betapa pun kekuatan musuh yang dihadapinya.
Sekarang bandingkanlah agar segala penyesalan dan rasa putus asa luruh
dari hati anda antara jihad ini dengan jihad lainnya yang kita
bangga-banggakan pada hari ini.
Bandingkanlah! Supaya anda mengetahui, betapa keadilan Allah di atas
bumi. Agar anda menyadari bahwa Allah tidak pernah menganiaya seorang
pun. Tetapi justru merekalah yang menganiaya diri sendiri.
Setelah itu, angkatlah tanganmu ke langit, meminta perkenan Allah swt,
agar tidak menghancurkan kita sebagai akibat dari apa yang dilakukan
oleh orang-orang yang dzalim. Menangislah kepada-Nya, semoga dengan
ubudiyah ini, Allah swt akan mempercayai kita dan tidak menurunkan
siksa-Nya kepada kita tersebab keteledoran dan keburukan amal yang kita
lakukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar