"Islamic Quotes"

Sabtu, Oktober 16, 2010

DZATUR RIqaa'

[Disalin dari buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press]





Perang Dzatur Riqaa‘






Menurut para ulama sirah, peperangan ini terjadi pada tahun keempat Hijrah, sebulan setengah setelah pengusiran orang-orang Yahudi banu Nadlir. Tetapi Bukhari dan sebagian ahli hadits menguatkan pendapat yang mengatakan peperangan ini terjadi setelah perang Khaibar.



Sebab terjadinya peperangan ini, karena adanya pengkhianatan sebagian besar kabilah Nejd terhadap kaum Muslimin. Pengkhianatan yang mengakibatkan terbunuhnya 70 da‘I yang keluar untuk menyeru ke jalan Allah swt.

Rasulullah saw berangkat menuju kabilah-kabilah Muharib dan Bani Tsa‘labah. Waktu itu Rasulullah saw mengangkat Abu Dzar al-Ghiffari sebagai Amir Madinah. Rasulullah saw berkemah di suatu tempat di Nejd yaitu di kawasan Ghathafan yang dikenal dengan sebutan Nakhl. Tetapi Allah swt memasukkan rasa takut ke dalam hati kabilah-kabilah itu padahal seperti dikatakan Ibnu Hisyam, mereka berjumlah sangat besar sehingga mereka melarikan diri dari kemungkinan serbuan kaum Muslimin dan tidak terjadi pertempuran sama sekali.

Sungguhpun demikian, kisah peperangan ini mencatat beberapa peristiwa yang perlu kita renungkan. Di antaranya ialah :

Pertama,

Diriwayatkan di dalam Ash-Shahihain dari Abi Musa al-Asyari ia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah saw dalam suatu peperangan. Waktu itu kami enam orang bergantian mengendarai satu unta“. Lanjut Abu Musa Al-Asyari: “Kemudian telapak kaki kami pecah-pecah. Telapak kaki saya sendiri pecah dan kuku-kukunya pun copot. Waktu itu kami membalut kaki-kaki kami dengan sobekan kain. Sehingga aku menyebut peperangan ini dengan perang Dzatur Riqaa‘ (sobekan kain)“. Abu Musa Al-Asyari menyebutkan Hadits ini, tetapi kemudian tidak menyukainya. Ia berkata, seolah-olah dia tidak suka menceritakan perjuangan tersebut.

Kedua,

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw, melaksanakan shalat khauf di peperangan Dzatur Riqaa‘. Satu kelompok berbaris bersama Rasulullah saw , sementara satu kelompok lain menghadap ke arah musuh. Kemudian Rasulullah saw shalat satu rakaat bersama kelompok yang berbaris itu lalu beliau berdiri tegak sementara mereka menyempurnakannya. Kemudian mereka mundur lalu berbaris menghadap musuh sedangkan kelompok yang kedua maju kemudian Rasulullah saw mengimami mereka melanjutkan raka‘at shalatnya yang masih belum selesai. Kemudian Rasulullah saw duduk sementara mereka menyempurnakan shalat kemudian salam mengikuti Rasulullah saw.

Ketiga,

Bukhari juga meriwayatkan dari Jabir ra: “Ketika Nabi saw kembali kami pun ikut kembali bersamanya. Ketika datang waktu qailullah (tengah hari) kami tiba di sebuah lembah yang banyak pepohonannya. Kemudian Rasulullah saw turun dan orang-orang pun berhambur mencari tempat teduh di bawah pohon. Rasulullah saw istirahat di bawah pohon dan menggantungkan pedangnya di situ. Jabir melanjutkan: “Kemudian kami tidur pulas, tetapi tiba-tiba Rasulullah saw memanggil-manggil kami. Setelah kami datang ternyata di sisinya ada seorang Arab gunung sedang duduk. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Orang ini telah menyambar pedangku pada waktu aku sedang tidur. Ketika aku terjaga, seraya menghunus pedang itu dia berkata: “Siapa yang dapat menyelamatkanmu dari pedangku?“ Lalu aku menjawab: “Allah swt. Nah sekarang dia sedang duduk di sini." Kemudian Rasulullah saw tidak memberikan hukuman apa-apa pada orang itu.“



Keempat,

Ibnu Ishaq dan Ahmda meriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata: “Kami pernah berangkat bersama Rasulullah saw pada peperangan Dzatur Riqaa‘. Pada kesempatan itu tertawanlah seorang wanita dari kaum Musyrikin. Setelah Rasulullah saw berangkat pulang, suami dari wanita itu, yang sebelumnya tidak ada di rumah, baru datang. Kemudian lelaki itu bersumpah tidak akan berhenti mencari istrinya sebelum dapat mengalirkan darah pada sahabat Rasulullah saw. Lalu lelaki itu keluar mengikuti jejak perjalanan Nabi saw. Kemudian Nabi saw turun di suatu tempat lalu bersabda: “Siapakah di antara kalian yang bersedia menjaga kita semua malam ini?“. Jabir berkata: “Kemudian majulah seorang dari Muhajirin dan seorang dari Anshar, lalu keduanya berkata: “Kami wahai Rasulullah.“ Nabi saw berpesan: “Jagalah kami di mulut lorong ini.“ Jabir berkata: “Waktu itu, Rasulullah saw bersama para sahabatnya berhenti istirahat di suatu lorong dari sebuah lembah.“

Ketika dua sahabat itu keluar ke mulut lorong, sahabat Anshar berkata kepada sahabat Muhajirin: “Pukul berapakah kau inginkan aku berjaga, apakah permulaan malam atau akhir malam ?“. Sahabat Muhajirin menjawab: “Jagalah kami di awal malam.“ Kemudian sahabat Muhajirin itu berbaring dan tidur. Sedangkan sahabat Anshar melakukan shalat. Jabir berkata: "Datanglah lelaki Musyrik itu dan ketika mengenali sahabat Anshar itu dia faham bahwa sahabat itu sedang tugas berjaga. Kemudian orang itu memanahnya dan tepat mengenainya, lalu sahabat Anshar mencabut anak panah dan terus berdiri tegak. Kemudian orang itu memanahnya lagi dan tepat mengenainya, lalu dicabutnya juga kemudian sahabat itu ruku‘ dan sujud. Setelah itu baru dia membangunkan sahabatnya seraya berkata: “Duduklah karena aku telah dilukai." Jabir berkata: “Kemudian sahabat muhajir melompat. Ketika orang Musyrik melihat keduanya dia sadar bahwa dirinya telah diketahui lalu ia pun melarikan diri. Ketika sahabat muhajir mengetahui darah yang melumuri sahabatnya Anshar, ia berkata: “Subhanallah, kenapa kamu tidak membangunkan aku dari tadi ?“ dia menjawab: “Aku sedang membaca suatu surat dan aku tidak ingin memutusnya. Setelah berkali-kali orang itu memanahku baru aku ruku‘ dan memberitahukan kepadamu. Demi Allah, kalau bukan karena takut mengabaikan tugas penjagaan yang diperintahkan Rasulullah saw kepadaku niscaya nafasku akan berhenti sebelum aku membatalkan shalatku.“

Kelima,

Telah meriwayatkan Bukhari, Muslim, Ibnu Sa‘ad di dalam Thabaqat-nya dari Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya, dari Jabir bin Malik ra, ia berkata : "Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw, ke peperangan Dzatur Riqaa‘ dengan mengendarai untaku yang sangat lemah. Ketika Rasulullah saw berangkat pulang para sahabat pun bergerak maju, kecuali aku, tertinggal di belakang sehingga Rasulullah saw mendapati aku lalu bertanya: “Kenapa wahai Jabir ?“ Aku jawab: “Wahai Rasulullah saw, aku tertinggal bersama untaku yang lambat ini:“ Nabi saw bersabda: “Dudukanlah dia“. Lalu aku dan Rasulullah saw mendudukannya. Kemudian Rasulullah saw berkata: “Berikan tongkat yang kau genggam itu padaku.“ Kemudian aku berikan. Rasulullah saw mengambil tongkat itu lalu memukulkannya pada untaku beberapa kali pukulan, lalu bersabda: “Sekarang naiklah.“ Kemudian aku menaiki dan berjalan demi Dzat yang mengutusnya dengan benar – menyalib unta beliau.

Selanjutnya aku berbincang-bincang dengan Rasulullah saw. Beliau berkata kepadaku: “Maukah kau menjual untamu itu padaku, wahai Jabir ?“ Aku jawab: “Wahai Rasulullah saw, aku hadiahkan saja untukmu“. Nabi saw berkata: “Tidak juallah padaku.“ Aku berkata: “Kalau begitu, tawarlah, wahai Rasulullah.“ Nabi saw menawar: “Aku beli satu dirham“ Aku jawab: “Tidak, itu merugikan aku, wahai Rasulullah.“ Nabi saw menawar lagi: “Dua dirham?“ Aku jawab: "Tidak.“ Kemudian Rasulullah saw terus menaikkan tawarannya sampai mencapai harga satu‘Uqiyah. Lalu aku bertanya: “Apakah engkau telah rela wahai Rasulullah saw?“ Nabi saw menjawab: “Ya sudah.“ Aku berkata: “Dia milikmu.“. Nabi saw menjawab: “Aku terima ..“ Kemudian Nabi saw bertanya: “Wahai Jabir, apakah kamu sudah menikah?“ Aku jawab: “Sudah wahai Rasulullah saw". Nabi saw bertanya: “Janda atau gadis?“ Aku jawab: “Janda.“ Nabi saw bersabda: “Mengapa tidak memilih gadis sehingga kamu dan dia bisa bercumbu mesra?“ Aku jawab: “Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya ayahku telah gugur di Uhud. Dia meninggalkan sembilan anak wanita. Aku menikah dengan wanita yang pandai mengemong, trampil merawat dan mengasuh mereka.“ Nabi bersabda: “Engkau benar, insya Allah. Kalau kita sudah sampai di Shirara (nama sebuah tempat di Madinah), kita suruh penyembelih untuk memotong sembelihan. Kita semua tinggal di situ sehari, agar dia (istri Jabir) mendengar kedatangan kita, lalu mempersiapkan bantalnya“. Aku bertanya: “Demi Allah swt, wahai Rasulullah saw, kami tidak punya bantal.“ Nabi saw menjawab: “Dia pasti punya. Karena itu apabila kamu datang, lakukanlah suatu perbuatan yang menyenangkan.“

Jabir berkata: “Ketika kami sampai di Shirara, Rasulullah saw memerintahkan tukang sembelih untuk melakukan tugasnya, lalu hari itu kami tinggal di situ. Keesokan harinya Rasulullah saw bersama kami masuk Madinah".

Jabir berkata: “Pada pagi hari aku menuntun unta, aku bawa sampai ke depan pintu rumah Rasulullah saw, kemudian aku duduk di mesjid berdekatan dengan Rasulullah saw. Setelah keluar, Rasulullah saw melihat unta dan bertanya: “Apa ini?“ Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah saw, ini adalah unta yang dibawa oleh Jabir.“ Nabi saw bertanya: “Dimana Jabir?“ Kemudian aku dipanggil menghadap beliau, lalu beliau bersabda: “Wahai anak saudaraku, bawalah untamu, dia milikmu.“ Lalu Nabi saw memanggil Bilal dan bertanya kepadanya: “Pergilah bersama Jabir dan berikan kepadanya satu 'Uqiyah.“ Kemudian aku pergi bersamanya lalu dia memberiku satu 'uqiyah dan menambahkan sesuatu padaku. Demi Allah swt, uang itu terus bertambah dan bisa dilihat hasilnya di rumah kami.“

Beberapa Ibrah

Penelitian terhadap Sejarah Peperangan ini
Para Ulama Sirah telah sepakat sebagaimana kami sebutkan di atas bahwa peperangan Dzatur Riqaa‘ terjadi sebelum peperangan Khaibar. Sebagian besar mereka menguatkan bahwa peperangan ini terjadi setelah pengusiran bani Nadlir pada tahun keempat hijrah. Sebagian mereka, seperti Ibnu Sa‘ad dan Ibnu Hibban, berpendapat bahwa peperangan ini terjadi pada tahun kelima Hijrah.

Imam Bukhari menyebutkan di dalam Shahihnya bahwa peperangan ini terjadi setelah Khabiar. Kendatipun dalam susunan kitabnya peristiwa ini disebutkan sebelum perang Khaibar. Al-Hafidz Ibnu Hajar menguatkan pendapat Bukhari dengan alasan bahwa shalat Khauf (shalat dalam peperangan) telah disyariatkan pada peperangan Dzatur Riqaa‘ sementara itu Nabi saw tidak melaksanakan shalat Khauf ini pada perang Khandaq, tetapi mengqadlanya. Selanjutnya Ibnu Hajar menguatkan pendapat ini dengan sebuah riwayat yang terdapat di dalam ash-Shahihain dari Abu Musa Al-Asyari baha ia (Abu Musa Al-Asyari) menyebutkan tentang bagaimana kaki para sahabat pecah-pecah dalam perang Dzatur Riqaa‘ sehingga mereka membalutnya dengan cabikan kain, padahal Abu Musa Al-Asyari belum kembali dari Habasyah kecuali setelah perang Khaibar. Membaca dalil-dalil ini, Ibnu Qaiyyim tidak berani memastikannya kemudian berkata: “Ini menunjukkan bahwa perang Dzatur Riqaa‘ kemungkinan terjadinya setelah perang Khandaq.“

Saya berkata: “Dapat dipastikan bahwa peperangan Dzatur Riqaa‘ ini terjadi sebelum perang Khandaq. Karena di dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Jabir ra, pernah meminta ijin kepada Rasulullah saw untuk pergi ke rumahnya pada perang Khandaq. Ia mengabari istrinya tentang kelaparan yang dialami Rasulullah saw. Dalam riwayat itu disebutkan kisah hidangan yang disajikannya kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya. Di dalam kisah ini pula Rasulullah saw berkata kepada istri Jabir: “Makanlah ini dan berikan yang itu, karena orang-orang sedang mengalami kelaparan.“ Sementara itu di dalam ash-shahihain disebutkan juga bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada Jabir pada peperangan Dzatur Riqaa‘: “Apakah kamu sudah menikah?“ Jawab Jabir: "Sudah, wahai Rasulullah.“ Ini menunjukkan bahwa Nabi saw, belum mengetahui sama sekali pernikahannya.

Dengan demikian jelas bahwa peperangan Dzatur Riqaa‘ terjadinya sebelum perang Ahzab (Khandaq), apatah lagi perang Khaibar.

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar bahwa Nabi saw tidak melakukan shalat Khauf di perang Ahzab (tetapi mengqadlanya) dapat dijawab bahwa kemungkinan penundaan ini disebabkan berkecamuknya pertempuran antara kaum Musyrikin dan kaum Muslimin sehingga tidak sempat melakukan shalat. Mungkin juga karena musuh berada di arah Kiblat, sementara shalat Khauf yang dilaksanakan pada perang Dzatur Riqaa‘ pada saat musuh tidak di arah Kiblat. Atau mungkin Nabi saw, menunda shalat itu untuk menjelaskan bolehnya mengqadla shalat yang terlewat karena kondisi yang tidak memungkinkannya. Demikian pula penggunaan argumentasi oleh Ibnu Hajar dengan riwayat Abu Musa Al-Asyari yang disebutkan oleh banyak ulamat sirah, dapat dijawab bahwa yang dimaksudkan oleh Abu Musa AL-Asyari ialah peperangan yang lain yang juga disebut dengan Dzatur Riqaa‘. Dengan dalil bahwa abu Musa Al-Asyari menyebutkan: “Kami pernah berangkat bersama Rasulullah saw dalam suatu peperangan. Waktu itu kami enam orang bergantian mengendarai satu unta.“ Padahal dalam perang Dzatur Riqaa‘ yang sedang kita bicarakan ini jumlah kaum Muslimin lebih banyak dari itu.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berusaha membantah penjelasan ini, tetapi tidak banyak berarti karena dalil yang dikemukakan oleh para ulama sirah sudah sangat kuat dan tegas. Di antaranya hadits Jabir yang telah kami sebutkan pada masing-masing dari kedua peperangan tersebut.

Mengenai penundaan shalat oleh Nabi saw pada perang Khandaq dan masalah-masalah yang berkaitan denganya, insya Allah kami bahas secara detail pada kesempatan mendatang.

Sekalipun tidak terjadi kontak senjata antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin dalam peperangan ini, tetapi ia menyajikan beberapa peristiwa yang perlu dikaji dan diambil pelajarannya. Di antaranya :

1. Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asyari tentang penjelasan sebab penamaan peperangan ini dengan Dzatur Riqaa‘ (sobekan kain), memberikan suatu gambaran yang jelas betapa penderitaan yang dialami oleh para sahabat Rasulullah saw dalam menyampaikan risalah Allah swt dan jihad di jalan-Nya. Gambaran ini menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki kendaraan (dana) untuk menunjang jihad dan peperangan yang mereka lakukan. Enam atau tujuh orang bergantian mengendarai satu ekor unta untuk menempuh jarak perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan. Tetapi kemiskinan ini tidak menghalangi mereka untuk menyampaikan risalah mereka: “Risalah dakwah kepada Allah dan jihad di jalan-Nya.“ Demi tugas ini mereka siap menanggung segala bentuk resiko dan ujian berat. Telapak kaki mereka pecah karena menempuh perjalanan panjang di atas padang pasir panas dan batu kerikil tajam yang menyengat. Kuku-kuku mereka terkelupas karena keterseokan langkah yang menyandung batu demi batu. Mereka tidak memiliki apa-apa untuk mengobatinya kecuali harus membalutnya dengan sobakkan kain mereka yang lusuh. Namun semua itu tidak pernah membuat mereka lemah semangat atau menyerah. Semuanya itu dianggap kecil dan ringan bila dibandingkan dengan besarnya tanggung jawab yang dilimpahkan Allah swt ke atas pundak mereka semenjak mereka menjadi Muslim. Mereka selalu menepati firman Allah :
"Sesungguhnya Allah swt membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dann harta mereka dengan (balasan) surga bagi mereka. Mereka berperang di jalan Allah swt lalu mereka membunuh dan dibunuh …“ QS At-Taubah : 111

Demikianlah teks bai'at yang telah mereka tandatangani dan ikatkan bersama.

Sementara itu anda lihat Abu Musa AL-Asyari tidak suka menceritakan keadaan ini, setelah keterlepasan kata dan ditanya tentang sebab penamaan perang ini dengan Dzatur Riqaa‘ (sobekan kain). Ia tidak suka, dan menyesali perbuatannya itu karena diluar kontrolnya dia telah menceritakan sesuatu dari amalannya yang dilakukan secara ikhlas demi mengharapkan ganjaran di sisi Allah swt semata.

Ini menunjukkan seperti dikatakan oleh Imam Nawawi, bahwa seorang Muslim dianjurkan supaya menyembunyikan (tidak menceritakan) amal-amal shalihnya dan segala kesusahan serta penderitaannya dalam ketaatan kepada Allah swt. Ia tidak boleh menunjuk-nunjukan sedikit pun dari amal-amal shalehnya kecuali untuk suatu kemaslahatan. Seperti menjelaskan hukum tentang sesuatu dan mengingatkan orang supaya meneladaninya. Dalam konteks inilah kita harus memahami berita tentang sebagian perbuatan generasi Salaf (terdahulu).

2. Cara shalat yang dilakukan Rasulullah saw secara berjama‘ah dengan para sahabatnya dalam peperangan ini merupakan asas disyariatkannya shalat Khauf.

Cara menunaikan shalat Khauf ada dua. Pertama, khusus jika musuh berada di arah kiblat. Kedua, khusus jika musuh tidak berada di arah kiblat. Cara yang kedualah yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam peperangan Dzatur Riqaa‘ ini. Ketika masuk waktu shalat, pihak musuh berpencar ke berbagai penjuru dan arah sehingga dikhawatirkan pihak musuh akan mengawasi kaum Muslimin dari jauh. Bila mereka melihat semua kaum Muslimin tidak menghadap ke arah mereka dan sibuk menunaikan shalat, niscaya dengan mudah mereka akan menyerang kaum Muslimin dengan peralatan perang mereka.

Rasulullah saw memulai shalat berserta dengan satu kelompok dari shabatnya, sementara para sahabat yang lain mengawasi musuh ke berbagai arah. Ketika telah menyelesaikan satu rakaat, Rasulullah saw berdiri menanti, sementara para sahabat yang bermakmum itu menyelesaikan rakaat kedua sendiri-sendiri. Kemudian mereka pergi menggantikan para sahabat yang bertugas mengawasi musuh. Selanjutnya kelompok kedua ini datang lalu berdiri membentuk shaf di belakang Rasulullah saw setelah menyempurnakan rakat keduanya, Rasulullah saw duduk menanti para sahabat (keompok kedua) menyempurnakan rakat kedua sendiri-sendiri, kemudian mereka salam mengikuti Rasulullah saw.

Shalat ini dilakukan dengan cara tersebut, padahal mereka bisa melakukannya dengan dua jama‘ah karena dua sebab :

Pertama,
Tujuan mereka semua untuk berqudwah kepada Rasulullah saw. Ini merupakan keutamaan yang tidak boleh dilewatkan manakala dapat dilakukan.

Kedua,
Memperpadukan kesatuan Jama‘ah sedapat mungkin, sebab terpecahnya ummat menjadi beberapa Jama‘ah dalam menunaikan suatu kewajiban adalah merupakan sesuatu yang makruh (dibenci).

Tetapi para ulama Hanafiah tidak melihat sebab yang kedua ini sehingga mereka berpendapat, tidak ada alasan untuk mempertahankan cara ini setelah Rasulullah saw wafat.

3. Kisah seorang Musyrik yang menyambar pedang Rasulullah saw adalah kisah yang diriwayatkan secara shahih. Kisah ini menunjukkan sejauh mana perlindungan Allah swt kepada Nabi-Nya. Di samping menambah keyakinan kita kepada perkara luar biasa yang diberikan Allah swt kepada Nabi-Nya sehingga kita semakin mantap dan yakin kepada pribadi kenabiannya. Semestinya sangat mudah bagi orang Musyrik itu yang sudah menghunus pedang di atas Rasulullah saw yang sedang pulas tertidur untuk menebaskan pedang dan membunuh Rasulullah saw bahkan orang Musyrik itu telah demikian siap untuk memanfaatkan kesempatan emas tersebut sehingga dia bertanya :
"Siapakah yang akan menghalangimu dariku?“

Apa yang terjadi setelah itu sehingga dia gagal melakukannya. Apa yang terjadi ialah suatu yang tidak pernah terpikirkan oleh orang musyrik itu, yakni 'inayah (penjagaan) dan perlindungan Allah swt kepada Rasulullah saw. Inayah Ilahiah inilah yang memasukkan rasa takut ke dalam hati orang Musyrik itu sehingga dia gemetar dan pedangnya terjatuh ke tanah, kemudian dia duduk bersimpuh di hadapan Nabi saw menyerahkan dirinya.

Sesuatu yang perlu anda ketahui dari peristiwa ini ialah bahwa kasus ini merupakan bukti kebenaran janji Allah swt :
"Allah swt melindungimu dari manusia.“ QS al-Maidah : 67

Perlindungan yang dimaksudkan oleh ayat ini tidak berarti bahwa Nabi saw tidak akan mendapat gangguan atau permusuhan dari kaumnya. Sebab, gangguan dan permusuhan itu sudah menjadi Sunnatullah bagi para hamba-Nya. Yang dimaksudkan dengan perlindungan di sini ialah bahwa Nabi saw tidak akan berhasil dibunuh oleh para musuhnya yang juga ingin membunuh dakwah Islam yang disampaikannya.

4. Kami sebutkan kisah Jabir bin Abdullah ra yang telah berdialog dengan Rasulullah saw di tengah perjalanan pulangnya ke Madinah, padahal kisah ini tidak berkaitan dengan masalah peperangan, karena dialog tersebut memberikan gambaran yang utuh dan detail tentang akhlak Rasulullah saw terhadap para sahabatnya. Suatu perlakukan yang menyenangkan, pembicaraan yang lembut, keramah-tamahan dalam berdialog dan kecintaan Rasulullah saw terhadap para sahabatnya.

Apabila anda renungkan kisah ini, anda akan menyadari bahwa Nabi saw sangat empati pada penderitaan yang dialami oleh keluarga Jabir bin Abdullah. Bapaknya telah gugur sebagai syahid di Uhud. Kemudian sebagai anak yang paling tua, ia bertanggung jawab mengurus keluarga dan anak-anak yang ditinggalkan oleh bapaknya. Ditambah lagi dia tidak memiliki kekayaan material yang mencukupi kebutuhannya.

Seolah-olah Rasulullah saw merasakan keterlambatan Jabir dalam perjalanan pulang ini sebagai ekspresi dari kondisi secara umum (sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw apabila berjalan bersama para sahabatnya, beliau senantiasa memeriksa dan menenangkan hati mereka), sehingga Rasulullah saw memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bertatap muka dan berdialog dengan Jabir dalam bahasa yang lembut, menyentuh dan menyejukkan hati.

Rasulullah saw mengajukan diri untuk membeli untanya. Tawaran ini hanyalah dimaksudkan sebagai kesempatan yang cocok untuk menghormati dan membantunya dalam menanggulangi kondisinya tersebut. Kemudian Nabi saw menanyakan tentang istri dan keluarga dalam bahasa yang santun dan menenteramkan. Selanjutnya Rasulullah saw menghiburnya dengan menyatakan bahwa apabila mereka sudah sampai di dekat Madinah, mereka akan tinggal selama semalam di tempat itu agar para penduduk Madinah mengetahui kedatangan mereka. Sehingga istrinya Jabir yang baru dinikahinya itu pun akan menyambut kedatangannya. Jabir pun hanyut terbawa oleh gaya bahasa Rasulullah saw sehingga dia berkata :
"Demi Allah, wahai Rasulullah saw, kami tidak punya bantal.“

Nabi pun meyakinkan :
"Jangan khawatir! Dia pasti punya!“

Suatu gambaran yang indah tentang perlakuan beliau yang lembut, tutur bahasa yang menyejukkan dan dialog yang menghibur, yang kita ditakdirkan tidak pernah menikmatinya di dalam majelis Rasulullah saw, peperangan dan perjalanannya. Sekalipun demikian, kini kita masih dapat merasakannya melalui sirahnya yang mulia yang membangkitkan rasa rindu kita untuk melihat beliau secara langsung dan menyertai peperangan di bawah pimpinan beliau langsung. Kita kita hanya bisa mendengar dan membacanya! Ya Allah gantilah semua yang tidak dapat kami nikmati di dunia ini dengan perjumpaan bersama beliau di surga-Mu yang abadi! Persiapkanlah kami agar kami dapat mendapatkannya dengan berpegang teguh terhadap petunjuknya dan mengikuti jejaknya dalam menanggung segala beban penderitaan di jalan agama-Mu.

5. Setiap Muslim harus banyak merenungkan kisah dua orang Sahabat yang bertugas menjaga pasukan kaum Muslimin atas perintah dari Rasulullah saw agar disadari oleh setiap Muslim bagaimana watak jihad Islam dan bagaimana para sahabat Rasulullah saw melaksanakannya.

Jihad bukanlah sekedar perjuangan yang didadasarkan pada prinsip perlawanan senjata yang bersifat material semata-mata. Tetapi jihad sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabatnya adalah merupakan ibadah terbesar yang mempertautkan seluruh eksistensi seorang Muslim dengan Penciptanya dalam suatu Ubudiyah yang khusyu‘ dan penuh konsentrasi. Tidak ada saat-saat yang lebih dekat bagi seorang Muslim dengan Rabb-nya selain daripada tatkala dia sedang melepaskan dunia dan menghadapkan wajahnya ke arah kematian dan syahadah.

Oleh sebab itu wajar sekali bila sahabat Anshar, Ibad bin Bisyir memanfaatkan waktu tugas jaganya di malam hari untuk menunaikan beberapa rakaat dengan khusyuk berdiri di hadapan Allah swt. Seluruh perasaannya hanyut melarut dalam munajat kepada-Nya dengan sejumlah ayat al-Quran yang mulia.

Adalah wajar, jika kemudian dia tidak menghiraukan lesatan anak panah yang menancap di tubuhnya sampai tiga kali. Karena seluruh dimensi kemanusiaannya sedang berada pada puncak trasenden tersebut, terbawa hanyut oleh perasaannya yang sedang menghadap keharibaan Rabb-nya. Saat-saat ketika dia sedang merasakan lezatnya bermunajat antara hamba dan Penciptanya .

Dan, ketika dia keluar dari suasana itu barulah dia mulai menoleh kepada apa yang dirasakananya. Bukan karena rasa sakit yang mulai dirasakannya, tetapi karena mengingat tanggung jawab yang dibebankan oleh Rasulullah saw kepadanya. Khawatir tanggung jawab itu akan terabaikan karena kematiannya. Kekhawatiran inilah yang memaksanya untuk membangunkan sahabatnya agar menerima amanat menjaga pasukan yang harus dilakukannya.

Perhatikanlah kalimat yang diucapkannya :
"Demi Allah, kalau bukan karena takut mengabaikan tugas penjagaan yang diperintahkan Rasulullah saw kepadaku, niscaya nafasku akan terputus sebelum aku membatalkan shalat.“

Demikianlah watak jihad yang Allah telah menjamin kemenangan kepada para pendukungnya, betapa pun kekuatan musuh yang dihadapinya.

Sekarang bandingkanlah agar segala penyesalan dan rasa putus asa luruh dari hati anda antara jihad ini dengan jihad lainnya yang kita bangga-banggakan pada hari ini.

Bandingkanlah! Supaya anda mengetahui, betapa keadilan Allah di atas bumi. Agar anda menyadari bahwa Allah tidak pernah menganiaya seorang pun. Tetapi justru merekalah yang menganiaya diri sendiri.

Setelah itu, angkatlah tanganmu ke langit, meminta perkenan Allah swt, agar tidak menghancurkan kita sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh orang-orang yang dzalim. Menangislah kepada-Nya, semoga dengan ubudiyah ini, Allah swt akan mempercayai kita dan tidak menurunkan siksa-Nya kepada kita tersebab keteledoran dan keburukan amal yang kita lakukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar