Obituari:
Ustazah Yoyoh Yusroh Mujahidah Masa Kini
Suatu siang,
April 2008
Bermula dari
pesan singkat Ustazah Yoyoh Yusroh, mengundangku untuk jumpa di kantornya,
gedung DPR, Nusantara Bhakti 2. Kupikir, Mbak Yayu, istri Presiden PKS (ketika
itu) Tifatul Sembiring yang telah menyampaikan pesanku kepada beliau.
Beberapa bulan
sebelumnya, Ustazah Yoyoh Yusroh telah mengamanahi kami (Anneke Puteri, aku dan
kawan-kawan) wakaf sebidang tanah di Depok Timur untuk gedung Taman Baca.
Proposalnya siang itu kuserahkan kepada sosok itu, seorang muslimah yang telah
lama kukenal kisah perjuangannya dari teman-teman liqo. Namun, baru beberapa
kali saja bertemu muka secara langsung, dan bisa berbincang akrab.
“Boleh saya
curhatan, Umi,” ujarku usai urusan proposal.
Kusadari
bahwa ini spekulasian, selain hanya terkait urusan pribadi, bisa jadi sebagai
sikap lancang terhadap seorang anggota MPR/DPR RI. Duh, maafkan daku, Umi
cinta!
“Oh, boleh…
Ada yang bisa saya bantu, Teteh?”
Aku merasai
benar aura keramahan, kebersahajaan dan ketulusan memancar dari sosok yang
telah banyak menjadi panutan kaumku perempuan. Dalam sekejap aku merasa dapat
mempercayai sosok ini, maka kutitipkan sebagian beban nestapaku. Bahwa ada
masalah besar, kemelut dalam rumah tangga, sehingga aku dan anak-anak harus
memutuskan untuk hijrah dari rumah yang selama ini kami tempati.
Beberapa
detik berlalu, aku menanti dalam debar harap, dan membuang jauh-jauh gengsi,
segala tetek bengeknya itu. Ternyata sosok keibuan ini telah menghadiahiku satu
hal. Bahwa aku dan anak boleh menempati rumahnya yang kosong. Saat itu juga
Ustazah Yoyoh langsung menelepon Mbak May, orang yang selama ini diamanahi
memegang kunci rumahnya.
“Silakan,
Teh.. kapan pun Teteh siap, boleh menempati rumahnya,” katanya dalam nada yang
ikhlas dan serius. “Rumah itu memang sudah lama kosong.”
“Duh… Umi…
bagaimana saya mengucapkan terima kasih,” tergagap-gagap mulutku bahna haru.
Umi Umar,
demikian sebutannya di kalangan liqo kami, seketika menggenggam kedua tanganku,
mengalirkan semangat dan kekuatan melalui jari-jemarinya yang hangat dan
lembut.
“Kita ini
bersaudara, Teteh… saya paham masalah Teteh. Banyak sekali ibu-ibu, istri yang
mengalami hal seperti ini.”
Siang itu
betapa banyak pelajaran berharga yang bisa kupetik. Pertemuan dengan seorang
ibu yang memiliki karier luar biasa, sebuah keluarga sakinah, ibu dari 13 anak
yang penuh welas asih, duhai!
Beberapa
jenak kami masih berbincang tentang berbagai hal, karya, dakwah dan cintanya
terhadap anak-anak dhuafa. Kemudian aku diajaknya melihat-lihat ruangan di
sebelah menyebelah.
“Ini dia
ruang sidang komisi delapan,” ujarnya ketika kami berdua memasuki sebuah
ruangan luas.
“Pernah saya
menulis lakon anggota dewan. Setingnya, yah, syukurlah tidak jauh-jauh amat.
Jadi merasa tenang, tidak ngapusi pembaca,” kataku sambil menahan tawa, betapa
diriku sebagai penulis suka mengembangkan imaji liarku ke mana suka.
“Teruslah
menulis, Teteh,” kembali kurasai genggaman hangatnya di telapak tanganku.
“Boleh minta
endorse nanti untuk buku yang sedang Teteh sunting, ya, Umi?” pintaku serius.
“Insya Allah
dengan senang hati, Teteh.”
Maka, aku
telah menerima janjinya tersebut untuk buku memoarku; Dalam Semesta Cinta.
Endorsenya kupajang di kover depan sbb: “Membaca buku ini membangkitkan
semangat kami untuk banyak merenung dan mencatat detail nikmat-Mu yang kadang
alpa dari ingatan kami. Terus berkarya ya Teteh, alirkan cintamu kepada kami
melalui penamu yang tajam.” (Ustazah Yoyoh Yusroh)
Tak berapa
lama kemudian, Ustazah Yoyoh menawariku makan bersama. Karena makanannya telah
tersedia, meskipun sungkan, akhirnya kuterima ajakannya. Maka, kami berdua
makan siang di ruang kerjanya. Beberapa rekannya sesama anggota Dewan atau
mungkin stafnya, melintas, saling menyapa. Mungkin mereka heran juga;” Siapa
itu yang numpang makan dengan Bu Yoyoh?”
“Baiklah,
sekarang Teteh pamitan, ya Umi.”
“Oh, jangan
pulang sendirian. Kita sama-sama pulangnya kan searah ke Depok. Sebentar, ya,
Teteh,” ujarnya sambil menghubungi seseorang yang ternyata adalah suaminya, Pak
Budi Darmawan.
Saat itu
sedang ada demo di pintu gerbang gedung MPR/DPR RI. Jadi, mobilnya diarahkan
dari bagian belakang. Rasanya bak mimpi saja. Berjalan bersama sosok yang
sering disebut-sebut dan dibanggakan oleh Helvy Tiana Rosa. Ya, dia dengan
tulus masih meluangkan waktu, bersama Pak Budi, mengantarku sampai kawasan
Kalibata.
“Maafkan, ya
Teteh, tidak bisa mengantar sampai Depok. Kami langsung ditunggu acara
pengajian di rumah.”
“Duh, tidak
apa-apa, ini sudah sangat merepotkan, terima kasih, ya Umi, sampai jumpa…”
ujarku lirih sebelum kami berpisah, sementara mataku terus-menerus membasah.
“Ya, sampai
jumpa. Istiqomah selalu, ya Teh, assalamualaikum…”
Tidak hanya
itu, Pak Budi meluangkan waktunya untuk turun dan mencegatkan sebuah taksi,
bahkan memberikan ongkosnya pula kepada sopir taksi hingga ke Depok.
Subhanallah,
pasangan suami-istri yang sungguh luar biasa dalam urusan keikhlasan berbagi.
Sebuah beban
telah terangkat dari bahu-bahuku, segera kukabari hal ini kepada anak-anak.
Petang itu pun kami langsung boyongan ke rumah besar, bersebelahan dengan
sebuah mesjid. Inilah kawasan Yayasan Ibu Harapan.
Sejak saat
itu hingga empat bulan kemudian, aku dan dua anak serta seorang menantu yang
sedang hamil, menempati rumah milik Ustazah Yoyoh Yusroh. Begitu banyak nikmat
dan hikmahnya selama menempati rumah idaman, demikian Butet menyebutnya. Sebuah
rumah megah bercat putih-krem, tiga lantai dan perabotan yang lengkap.
Tiap hari
Minggu, setelah sholat subuh berjamaah, aku bisa mengikuti kuliah subuh yang
dipimpin langsung oleh Ustazah Yoyoh Yusroh. Ketika itulah taklimnya kedatangan
seorang tamu istimewa dari Arab Saudi, yakni; Yusuf Qardhawi.
Gemetar
rasanya bisa melihat dan berbincang sekilas dengan penulis besar itu. Meskipun
komunikasi dijembatani oleh Ustazah Yoyoh Yusroh yang fasih bercakap bahasa
Arab. Ya, berkat kedekatan dengan Umi Umar yang selalu murah senyum ini,
semuanya itu bisa terjadi.
Suatu hari,
seorang asistennya menyampaikan titipan dari Ustazah Yoyoh. Sebuah amplop
tebal, begitu kubuka ternyata berisi sejumlah uang. Aduh, betapa malu diri
rasanya hatiku. Sudah ditampung di rumahnya, bukannya bayar uang sewanya, malah
menambah beban saja.
Awalnya,
kukira hanya akan sekali itu saja, karena kebetulan aku harus ditransfusi.
Namun, ternyata pada bulan berikutnya pun ada titipan serupa melalui
asistennya.
“Umi, mohon
tidak memberi sumbangan terus, buat Teteh. Bukankah Umi juga sedang mencari
dana untuk anak-anak dhuafa,” kataku via SMS.
“Insya Allah
rezeki-Nya akan mengucur deras untuk anak-anak, Teteh. Terimalah, itu kan
rezeki Teteh juga untuk beli obat,” balasnya.
Subhanallah,
alhamdulilah. Dan memang rezeki terus mengalir, selama tinggal di rumah idaman
itulah; aku digratiskan pergi Umroh oleh Travel Cordova, Haekal yang baru lulus
mendapatkan pekerjaan tetap, Butet mendapat beasiswa dan pertukaran pelajar ke
Banjarmasin, Seli dinyatakan positif hamil anak pertamanya.
Sungguh,
betapa indah simpul persaudaraan yang diulurkan oleh Ustazah Yoyoh Yusroh
kepadaku dan anak-mantu. Kutahu, kepada jamaah taklimnya di pelosok Tanah Air
pun dia melakukan banyak kebaikan, kemuliaan yang agung dan tanpa pamrih.
Bahkan ketika sedang mengandung tua pun masih jua menempuh perjalanan jauh,
demi menyampaikan sumbangan untuk korban gempa dan tsunami.
Sosok
muslimah yang satu ini, memang bukan sekadar seorang ibu dari 13 anaknya yang
semuanya hafidz Al Quran, seorang istri shalehah yang kerap menawarkan suami
tercinta untuk beristri lagi.
Tidak hanya
itu, muslimah perkasa yang selalu berpenampilan bersahaja inipun adalah; sosok
mujahiddah luar biasa untuk masanya. Ketangguhannya, keimanannya, dan
keistiqomahannya melebihi para pahlawan perempuan yang pernah lahir dalam
sejarah Indonesia.
Kini, engkau
telah pergi untuk selamanya, 21 Mei 2011, Mujahiddah.
Namun, kami
senantiasa mengenang segala ketulusan dan keikhlasanmu dalam berbagi ilmu,
rezeki dan waktu, masa-masa emasmu yang seharusnya untuk keluarga.
Engkau tidak
pernah mementingkan diri sendiri, melainkan jamaah, ummat yang diutamakan.
Selamat
jalan, Muhajiddah kami tercinta, duhai…
Hanya
jannah-Nya jualah yang pantas untuk tempatmu.
Semoga kita
masih dapat jumpa, Saudariku cinta, Ustazah Yoyoh Yusroh. (Pipiet Senja)
http://sosok.kompasiana.com/2011/05/23/mengenang-ustazah-yoyoh-yusroh-mujahiddah-masa-kini/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar