"Islamic Quotes"

Selasa, Mei 31, 2011

ISLAM DAN DEMOKRASI



Ada sebuah pertanyaan yang disampaikan seseorang dari Al-Jazair kepada kami: saya tidak bisa menyembunyikan kekagetan dan keheranan tatkala mendengar sebagian orang yang dikenal sangat bersemangat dan antusias, yang sebagian di antara mereka juga menisbatkan diri kepada beberapa jama’ah islam, bahwa demokrasi tidak diakui islam bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa demokrasi adalah kekufuran. Alasannya, karena demokrasi berarti pemberian wewenang kepada rakyat untuk menetapkan hukum. Padahal rakyat dalam islam bukan yang menetapkan hukum, tetapi Allah lah yang menentukan hukum sebagaimana firman-Nya,
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Qs Al-An’am : 57)


Hal ini seperti dikatakan golongan khawarij yang terdahulu, yang kemudian disanggah Ali bin Abi Thalib dengan berkata, “Kata-kata yang benar namun dimaksudkan batil”.

Sementara sudah berkembang opini di kalangan penganut paham liberal dan para penyeru kebebasan, bahwa islam merupakan musuh demokrasi, pembela kediktatoran dan otoriter.

Benarkah islam merupakan musuh demokrasi? Benarkah demokrasi merupakan bagian dari kekufuran atau kemungkaran seperti anggapan sebagian orang yang berpendapat seperti itu? Ataukah yang seperti ini hanya sekedar pendapat yang diatasnamakan islam, padahal islam terlepas dari pendapat itu? Ataukah yang seperti ini hanya sekedar pendapat yang diatasnamakan islam, padahal islam terlepas dari pendapat itu?

Masalah ini perlu dijelaskan secara tuntas oleh para ulama yang moderat, tidak cenderung untuk meremehkan dan juga tidak berlebih-lebihan, agar permasalahannya bisa diletakkan secara proporsional, agar islam tidak memikul kesalahan penafsiran yang tidak benar, sekalipun keluar dari kalangan ulama. Sebab bagaimana pun juga, mereka bisa salah dan bisa benar. Kami memohon kepada Allah agar anda berkenan menampakkan kebenaran berdasarkan dalil-dalil syariat, menjelaskan mana yang benar mengenai masalah ini, mengeyahkan syubhat dan menegakkan hujjah.

Inilah jawaban kami:
Memang sangat disayangkan karena masalah ini dicampur aduk sedemikian rupa, yang haq dan yang batil dirancukan oleh orang-orang muslim secara umum dan orang-orang yang berbicara atas nama agama secara khusus, sehingga kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti yang anda sampaikan di atas. Tidak heran jika kemudian tuduhan kufur atau fasik begitu mudah dilemparkan seseorang. Seakan-akan dalam pandangan syariat tuduhan ini tidak dianggap dosa besar, yang justru tuduhan itu lebih pantas dialamatkan kepada orang yang melemparkan tuduhan kepada orang lain, seperti yang disebutkan di dalam hadist shahih.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ini bukan sesuatu yang aneh bagi kami. Sebab pertanyaan-pertanyaan serupa tidak hanya diajukan sekali dua kali tatkala kami sedang berada di Aljazair, juga dengan pengungkapan yang begitu gamblang: apakah demokrasi merupakan kekufuran?

Seusai menyampaikan cerama pada beberapa pekan yang lalu di Lebanon, tepatnya di Kota Shaida, ada beberapa pertanyaan yang diajukan kepada kami, di antaranya tentang bergabungnya Partai Refah Islam di Turki dengna hukum sekuler demokratis. Kami sampaikan jawaban kepada penanya, bahwa hukum disini harus dilandsakan kepada fiqh Muwazanah (perimbangan). Jika dilihat ada  kemaslahatan bagi islam dan kaum muslimin bisa terwujud, maka penggabungan tersebut diperbolehkan. Penanya itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin bergabung dengan hukum seseorang yang berpaham demokratis dan ideologinya disebut kufur? Tolong uraian masalah ini!

Hukum dari Sesuatu Merupakan Cabang dari Konsepsinya
Yang sangat mengherankan, ada sebagian orang yang menghukumi demokrasi sebagai kekufuran yang jelas dan pasti. Padahal dia belum tahu secara persis apa itu demokrasi, belum menyusup inti pengertiannya dan substansinya, tanpa terkecoh oleh gambaran dan topiknya.

Kaidah yang sudah disepakati para ulama kita terdahulu adalah: “Hukum tentang sesuatu merupakan cabang dari konsepsinya”. Barangsiapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia tidak mengetahuinya secara pasti, maka ketetapan hukumnya itu dianggap cacat, sekalipun mungkin secara kebetulan benar. Sebab tindakan ini seperti lemparan yang tidak diketahui siapa yang melempar. Oleh karena itu disebutkan dalam sebuah hadist shahih, bahwa hakim yang menetapkan hukum tanpa mengetahui permasalahannya, akan berada di Neraka, seperti  orang yang mengetahui kebenaran namun menetapkan yang lain.

Apakah demokrasi seperti yang digembar-gemborkan semua bangsa di dunia, yang dibela oleh semua golongan yang ada di Barat dan di Timur, yang dicapai berbagai bangsa setelah berperang mati-matian melawan penguasa diktator, sehingga banyak darah yang tertumpah, beribu-ribu dan bahkan berjuta-juta orang jatuh menjadi korban, seperti yang terjadi di Eropa Timur dan tempat-tempat lainnya, yang dilihat orang-orang muslim sebagai sarana yang paling ampuh untuk melawan dominasi kekuasaan pribadi dan politik seperti yang dialami beberapa negara Arab dan islam, apakah demokrasi ini termasuk kemungkaran atau kekufuran seperti yang dilontarkan sebagian orang yang berfikiran dangkal?

APAKAH SUBSTANSI DEMOKRASI?

Substansi demokrasi, terlepas dari berbagai definisi dan istilah-istilah akademis, adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak akan mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak memperhitungkan pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang. Mereka tidak boleh digiring kepada suatu trend atau paham ekonomi, sosial, atau politik yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukain. Jika ada di antara mereka yang memberontak terhadap kekuasaannya, maka mereka layak mendapat hukuman.


Inilah substansi yang hakiki dari demokrasi, yang memberikan bentuk dan beberapa sistem praktis, seperti pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan mayoritas, multipartai politik, hak minoritas yang bertentangan, kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan dan lain-lainnya.

Apakah demokrasi dengan substansi yang kita sebutkan ini bertentangan dengan islam? Dari sisi mana pertentangan ini? Dalil mana yang diambilkan dari Kitab dan Sunnah, yang menunjukkan pengertian ini?


SUBSTANSI DEMOKRASI SEJALAN DENGAN ISLAM

Siapa yang memperhatikan substansi demokrasi, tentu akan melihat bahwa ia berasal dari islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang makmun di belakangnya. Di dalam hadist disebutkan, “Tiga golongan yang shalatnya tidak bisa naik di atas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal....”  lalu beliau menyebutkan yang pertama di antaranya, “Seseorang yang mengimani suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya.” (Diriwayatkan Ibnu Majah)


Jika dalam shalat saja urusannya seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai urusan kehidupan yang lain dan politik? Di dalam sebuah hadist shahih disebutkan,
“Sebaik-baik para pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian, dan seburuk-buruk para pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, yang kalian mengutuk mereka dan mereka mengutuk kalian.” (Diriwayatkan Muslim).



Serangan Al-Qur’an terhadap Tiran-Tiran Yang Menuhankan Diri di Bumi

Al-qur’an melancarkan serangan terhadap tiran-tiran yang menuhankan diri di bumi, yang memaksa hamba-hamba Allah sebagai hambanya, seperti perbuatan Namrud yang disebutkan di dalam Al-qur’an, lalu dihadapi Ibrahim As,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, “Rabbku ialah Yang Menghidupkan dan mematikan”, orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari Barat”. Lalu heran terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Qs 2: 258)

Thagut ini (Namrud) membual bahwa dia bisa menghidupkan dan mematikan, seperti yang dilakukan Rabb Ibrahim yang menghidupkan dan mematikan. Dengan bualannya ini dia berhatap manusia tunduk kepadanya, sebagaimana mereka tunduk kepada Rabb Ibrahim. Puncak bualannya yang bisa menghidupkan dan mematikan ini terjadi saat muncul dua orang yang berlalu di jalan, lalu dia menitahkan agar dua orang itu dibunuh sekalipun mereka berdua tidak melakukan kesalahan macam apapun. Maka seketika itu pula salah seorang di antara keduanya dibunuh, lalu dia berkata, “Lihat, sekarang aku sudah mematikannya”. Untuk itu dia berkata, “Lihat, sekarang aku sudah menghidupkannya. Bukankah dengan begini aku sudah bisa menghidupkan dan mematikan?”

Contoh lain adalah Fir’aun, yang berkata di tengah kaumnya,
“Aku adalah sesembahan kalian yang paling tinggi.” (Qs An-Nazi’at : 24)

Dengan sombong dia berkata,
“Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui sesembahan bagi kalian selain aku.” (Qs Al-Qashash: 38)

Al-qur’an telah mengungkap persekutuan yang kotor antara tiga pihak, yaitu:
1.       Pemimpin yang sewenang-wenang atau tiran di bumi Allah dan menguasai hamba-hamba Allah, yang tercermin pada diri Fir’aun
2.       Politikus penjilat yang membanggakan kecerdikan dan pengalamannya dalam mengabdi kepada pemimpin thagut, mempengaruhi kebijaksanaan kekuasaannya dengan berbagai cara untuk menundukkan rakyat, yang tercermin pada diri Haman.
3.       Kapitalis yang feodalistik dan berkolusi dengan penguasa zhalim, yang mendukung penguasa itu dengan hadiah-hadiah yang dikucurkannya, dengan tujuan agar dia memperoleh masukan yang lebih besar dengan cara memeras keringat dan darah rakyat, yang tercermin pada diri Qarun.


Tiga orang yang saling berkolusi ini telah disebutkan di dalam Al-qur’an sebagai orang-orang yang menyebarkan dosa dan permusuhan. Mereka bertiga menghadang risalah Musa, hingga akhirnya Allah menjatuhkan hukuman yang mengerikan kepada mereka,

“Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, kepada Fir’aun, Haman dan Qarun, maka mereka berkata, ‘(ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.” (Qs 40: 23-24)
“Dan juga Qarun, Fir’aun dan Haman, dan sesungguhnya telah datang kepada Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-ketarangan yang nyata. Tetapi mereka berlaku sombong di muka bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).” (Qs 29:39)


Yang aneh, Qarun adalah seseorang yang berasal dari kaum Musa, bukan dari kaum Fir’aun. Tetapi justru dia menindas kaumnya sendiri dan memilih bergabung dengan musuh mereka, Fir’aun. Dengan senang hati Fir’aun menerima kehadiran Qarun. Ini menunjukkan bahwa kepentingan materiallah yang menyatukan mereka berdua, sekalipun ras dan keturunannya berbeda.


Al-Qur’an Mengaitkan Tirani Dengan Kerusakan

Di antara pesona Al-qur’an, ia mengaitkan antara tirani dengan penyebaran kerusakan, yang menjadi sebab kehancuran umat. Allah berfirman,
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu berbuat terhadap kaum Ad?, (yaitu) penduduk iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah debangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.” (Qs Al-Fajr: 6-12)

Kadang-kadang Al-qur’an mengistilahkan Ath-thughyan (tirani) dengan lafazh al-uluw atau kesombongan dan memaksa manusia untuk tunduk kepada pelakunya, sebagaimana firman Allah tentang Fir’aun,
“Sesungguhnya dia adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas.” (Qs Ad-Dukhan :31)

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs. Al-Qashash: 4)

Begitulah kita melihat kesombongan dan kerusakan yang saling mengait.


Al-Qur’an Mencela Orang-orang Yang Tunduk Kepada Tiran

Al-qur’an tidak membatasi serangannya terhadap para tiran yang menuhankan dirinya, tetapi serangan ini juga tertuju kepada rakyat dan orang-orang yang mengikuti perintahnya, bergabung ke dalam kelompoknya dan tunduk kepada kemauannya. Al-qur’an juga membebankan tanggung jawab kepada mereka, di samping kepada tiran. Allah berfirman tentang kaum Nuh,
“Nuh berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian.” (Qs Nuh:21)

Allah berfirman tentang Ad Kaum Hud,
“Dan, itulah (kisah) kaum Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Rabb mereka, dan mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran).” (Qs Hud: 59)

Allah berfirman tentang Kaum Fir’aun,
“Tetapi mereka mengikuti perintah Fir’aun, padahal perintah Fir’aun itu sekali-kali bukanlah (perintah) yang benar. Ia berjaan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi.” (Qs Hud: 97-98)

Rakyat dibebani tanggung jawab atau sebagian dari tanggung jawab tersebut, kaena mereka tunduk kepada tiran. Inilah yang kemudian diplesetkan oleh manusia, bahwa ada yang bertanya kepada fir’aun, “Apa yang bisa engkau banggakan?” Fir’aun menjawab, “Aku tidak mendapatkan seorang pun yang membelaku.”

Yang paling banyak memikul beban disamping para tiran adalah perangkat-perangkat kekuasaan, yang di dalam Al-qur’an disebut “junud” atau tentara, yang maksudnya adalah kekuatan militer yang menjadi cakar dan taring kekuasaan atau cemeti yang sangat ditakuti rakyat bila sudah berbicara.
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman berserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (Al Qashash: 8)
“Maka Kami hukum Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zhalim. (AL Qashahs: 40)


Serangan Sunnah Nabawy Terhadap Tiran

Sunnah Nabawy juga melancarkan serangan terhadap para tiran dan pemimpin zhalim, yang berkuasa dengan menggunakan tongkat dan kekerasan. Jika tiran ini berkata, maka perkataannya tidak boleh disanggah. Tiran semacam ini akan bergulung-gulung di neraka seperti bergulung-gulugn di atas tempat tidur. Sunnah juga melancarkan serangan terhadap orang-orang yang ikut berjalan dalam proses tiran, ikut menyalakan dupa ditangannya, yaitu orang-orang yang ikut mendukung kezhalimannya. Bahkan sunnah memperingatkan umat yang dikuasai perasaan takut, sehingga untuk berkata, “Wahai orang zhalim!” kepada orang yang memang diketahui berbuat zhalim pun mereka tidak berani.

Diriwayatkan dari Abu Musa, bahwa Rasululah saw bersabda,
Sesungguhnya di dalam neraka Jahannam ada sebuah lembah. Di lembah itu ada sebuah sumur yang disebut Habhab. Ada hak bagi Allah untuk menempatkan di dalamnya setiap pemimpin yang sewenang-wenang lagi menentang kebenaran.” (Diriwayatkan Al-Hakim dan Ath-Thabrany)

Dari Mu’awiyah, bahwa Nabi saw bersabda,
“Sepeninggalku akan muncul para pemimpin yang berkata dan perkataannya tidak boleh disanggah. Mereka melompat-lompat seperti kera yang suka melompat-lompat.” (Diriwayatkan Ath-Thabrany dan Abu Ya’la)

Dari Jabir, bahwa Nabi SAW bersabda kepada Ka’ab Bin Ujrah, “Semoga Allah melindungimu dari kepemimpinan orang-orang yang bodoh wahai ka’ab!”

Ka’ab bertanya, “Apakah kepemimpinan orang-orang yang bodoh itu?’

Beliau menjawab, “Yaitu para pemimpin sesudahku yang tidak mengikuti pentunjukku dan sunnahku. Barangsiapa membenarkan kedustaan mereka dan menolong kezhaliman mereka, maka mereka itu bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk golongan mereka. Mereka tidak akan mengembalikan tempat airku kepadaku. Barangsiapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka, tida menolong kezhaliman mereka, maka mereka itu termasuk golonganku dan aku termasuk golongan mereka, dan mereka akan mengembalikan tempat airku kepadaku.” (Qs Diriwayatkan Ahmad dan Al-Bazzar).

Dari Mua’awiyah secara marfu’, “Suatu umat tidak akan disucikan selagi hak di dalamnya tidak dipenuhi dan orang yang lemah tidak bisa mengambil haknya dari yang kuat selain dari goyangan.” (Diriwayatkan Ath-Thabrany).

Dari Abdullah bin Amr, secara marfu’ , “Apabila engkau melihat umatku takut berkata kepada orang zhalim, “Hai orang zhalim!” maka mereka layak diberi ucapan selamat tinggal.” (Diriwayatkan Ahmad)

*bersambung

*Taken from Fiqh Daulah dalam perspektif Al-qur’an dan Sunnah hal 181-190. Penulis Yusuf Qardhawi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar