Ada sebuah pertanyaan yang disampaikan
seseorang dari Al-Jazair kepada kami: saya tidak bisa menyembunyikan kekagetan
dan keheranan tatkala mendengar sebagian orang yang dikenal sangat bersemangat
dan antusias, yang sebagian di antara mereka juga menisbatkan diri kepada
beberapa jama’ah islam, bahwa demokrasi tidak diakui islam bahkan sebagian
ulama ada yang berpendapat bahwa demokrasi adalah kekufuran. Alasannya, karena
demokrasi berarti pemberian wewenang kepada rakyat untuk menetapkan hukum.
Padahal rakyat dalam islam bukan yang menetapkan hukum, tetapi Allah lah yang
menentukan hukum sebagaimana firman-Nya,
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah.” (Qs Al-An’am : 57)
Hal ini seperti dikatakan golongan
khawarij yang terdahulu, yang kemudian disanggah Ali bin Abi Thalib dengan
berkata, “Kata-kata yang benar namun dimaksudkan batil”.
Sementara sudah berkembang opini di
kalangan penganut paham liberal dan para penyeru kebebasan, bahwa islam
merupakan musuh demokrasi, pembela kediktatoran dan otoriter.
Benarkah islam merupakan musuh
demokrasi? Benarkah demokrasi merupakan bagian dari kekufuran atau kemungkaran
seperti anggapan sebagian orang yang berpendapat seperti itu? Ataukah yang
seperti ini hanya sekedar pendapat yang diatasnamakan islam, padahal islam
terlepas dari pendapat itu? Ataukah yang seperti ini hanya sekedar pendapat
yang diatasnamakan islam, padahal islam terlepas dari pendapat itu?
Masalah ini perlu dijelaskan secara
tuntas oleh para ulama yang moderat, tidak cenderung untuk meremehkan dan juga
tidak berlebih-lebihan, agar permasalahannya bisa diletakkan secara
proporsional, agar islam tidak memikul kesalahan penafsiran yang tidak benar,
sekalipun keluar dari kalangan ulama. Sebab bagaimana pun juga, mereka bisa
salah dan bisa benar. Kami memohon kepada Allah agar anda berkenan menampakkan
kebenaran berdasarkan dalil-dalil syariat, menjelaskan mana yang benar mengenai
masalah ini, mengeyahkan syubhat dan menegakkan hujjah.
Inilah jawaban kami:
Memang sangat disayangkan karena
masalah ini dicampur aduk sedemikian rupa, yang haq dan yang batil dirancukan
oleh orang-orang muslim secara umum dan orang-orang yang berbicara atas nama
agama secara khusus, sehingga kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti
yang anda sampaikan di atas. Tidak heran jika kemudian tuduhan kufur atau fasik
begitu mudah dilemparkan seseorang. Seakan-akan dalam pandangan syariat tuduhan
ini tidak dianggap dosa besar, yang justru tuduhan itu lebih pantas dialamatkan
kepada orang yang melemparkan tuduhan kepada orang lain, seperti yang
disebutkan di dalam hadist shahih.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ini
bukan sesuatu yang aneh bagi kami. Sebab pertanyaan-pertanyaan serupa tidak
hanya diajukan sekali dua kali tatkala kami sedang berada di Aljazair, juga
dengan pengungkapan yang begitu gamblang: apakah demokrasi merupakan kekufuran?
Seusai menyampaikan cerama pada
beberapa pekan yang lalu di Lebanon, tepatnya di Kota Shaida, ada beberapa
pertanyaan yang diajukan kepada kami, di antaranya tentang bergabungnya Partai
Refah Islam di Turki dengna hukum sekuler demokratis. Kami sampaikan jawaban
kepada penanya, bahwa hukum disini harus dilandsakan kepada fiqh Muwazanah
(perimbangan). Jika dilihat ada
kemaslahatan bagi islam dan kaum muslimin bisa terwujud, maka
penggabungan tersebut diperbolehkan. Penanya itu berkata lagi, “Bagaimana
mungkin bergabung dengan hukum seseorang yang berpaham demokratis dan
ideologinya disebut kufur? Tolong uraian masalah ini!
Hukum dari Sesuatu Merupakan
Cabang dari Konsepsinya
Yang sangat mengherankan, ada sebagian
orang yang menghukumi demokrasi sebagai kekufuran yang jelas dan pasti. Padahal
dia belum tahu secara persis apa itu demokrasi, belum menyusup inti
pengertiannya dan substansinya, tanpa terkecoh oleh gambaran dan topiknya.
Kaidah yang sudah disepakati para ulama
kita terdahulu adalah: “Hukum tentang sesuatu merupakan cabang dari
konsepsinya”. Barangsiapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia
tidak mengetahuinya secara pasti, maka ketetapan hukumnya itu dianggap cacat,
sekalipun mungkin secara kebetulan benar. Sebab tindakan ini seperti lemparan
yang tidak diketahui siapa yang melempar. Oleh karena itu disebutkan dalam
sebuah hadist shahih, bahwa hakim yang menetapkan hukum tanpa mengetahui
permasalahannya, akan berada di Neraka, seperti
orang yang mengetahui kebenaran namun menetapkan yang lain.
Apakah demokrasi seperti yang
digembar-gemborkan semua bangsa di dunia, yang dibela oleh semua golongan yang
ada di Barat dan di Timur, yang dicapai berbagai bangsa setelah berperang mati-matian
melawan penguasa diktator, sehingga banyak darah yang tertumpah, beribu-ribu
dan bahkan berjuta-juta orang jatuh menjadi korban, seperti yang terjadi di
Eropa Timur dan tempat-tempat lainnya, yang dilihat orang-orang muslim sebagai
sarana yang paling ampuh untuk melawan dominasi kekuasaan pribadi dan politik
seperti yang dialami beberapa negara Arab dan islam, apakah demokrasi ini
termasuk kemungkaran atau kekufuran seperti yang dilontarkan sebagian orang
yang berfikiran dangkal?
APAKAH SUBSTANSI DEMOKRASI?
Substansi demokrasi, terlepas dari
berbagai definisi dan istilah-istilah akademis, adalah suatu proses pemilihan
yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang berhak
memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak akan mengangkat
seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak
memperhitungkan pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan
menggantinya dengan orang lain jika menyimpang. Mereka tidak boleh digiring
kepada suatu trend atau paham ekonomi, sosial, atau politik yang tidak mereka
kenal atau tidak mereka sukain. Jika ada di antara mereka yang memberontak
terhadap kekuasaannya, maka mereka layak mendapat hukuman.
Inilah substansi yang hakiki dari
demokrasi, yang memberikan bentuk dan beberapa sistem praktis, seperti
pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan mayoritas,
multipartai politik, hak minoritas yang bertentangan, kebebasan pers dan
mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan dan lain-lainnya.
Apakah demokrasi dengan substansi yang
kita sebutkan ini bertentangan dengan islam? Dari sisi mana pertentangan ini?
Dalil mana yang diambilkan dari Kitab dan Sunnah, yang menunjukkan pengertian
ini?
SUBSTANSI DEMOKRASI SEJALAN
DENGAN ISLAM
Siapa yang memperhatikan substansi
demokrasi, tentu akan melihat bahwa ia berasal dari islam. Islam menolak
seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang makmun di
belakangnya. Di dalam hadist disebutkan, “Tiga golongan yang shalatnya tidak
bisa naik di atas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal....” lalu beliau menyebutkan yang pertama di
antaranya, “Seseorang yang mengimani suatu kaum dan mereka tidak suka
kepadanya.” (Diriwayatkan Ibnu Majah)
Jika dalam shalat saja urusannya
seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai urusan kehidupan yang lain dan
politik? Di dalam sebuah hadist shahih disebutkan,
“Sebaik-baik para pemimpin kalian
adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, yang kalian
mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian, dan seburuk-buruk para pemimpin
kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, yang
kalian mengutuk mereka dan mereka mengutuk kalian.” (Diriwayatkan Muslim).
Serangan Al-Qur’an terhadap
Tiran-Tiran Yang Menuhankan Diri di Bumi
Al-qur’an melancarkan serangan terhadap
tiran-tiran yang menuhankan diri di bumi, yang memaksa hamba-hamba Allah
sebagai hambanya, seperti perbuatan Namrud yang disebutkan di dalam Al-qur’an,
lalu dihadapi Ibrahim As,
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah
memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim
mengatakan, “Rabbku ialah Yang Menghidupkan dan mematikan”, orang itu berkata,
“Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah
menerbitkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan
matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari Barat”. Lalu heran terdiamlah
orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zhalim.” (Qs 2: 258)
Thagut ini (Namrud) membual bahwa dia
bisa menghidupkan dan mematikan, seperti yang dilakukan Rabb Ibrahim yang
menghidupkan dan mematikan. Dengan bualannya ini dia berhatap manusia tunduk
kepadanya, sebagaimana mereka tunduk kepada Rabb Ibrahim. Puncak bualannya yang
bisa menghidupkan dan mematikan ini terjadi saat muncul dua orang yang berlalu
di jalan, lalu dia menitahkan agar dua orang itu dibunuh sekalipun mereka
berdua tidak melakukan kesalahan macam apapun. Maka seketika itu pula salah
seorang di antara keduanya dibunuh, lalu dia berkata, “Lihat, sekarang aku
sudah mematikannya”. Untuk itu dia berkata, “Lihat, sekarang aku sudah
menghidupkannya. Bukankah dengan begini aku sudah bisa menghidupkan dan
mematikan?”
Contoh lain adalah Fir’aun, yang
berkata di tengah kaumnya,
“Aku adalah sesembahan kalian yang
paling tinggi.” (Qs An-Nazi’at : 24)
Dengan sombong dia berkata,
“Hai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui sesembahan bagi kalian selain aku.” (Qs Al-Qashash: 38)
Al-qur’an telah mengungkap persekutuan
yang kotor antara tiga pihak, yaitu:
1.
Pemimpin yang sewenang-wenang atau
tiran di bumi Allah dan menguasai hamba-hamba Allah, yang tercermin pada diri
Fir’aun
2.
Politikus penjilat yang
membanggakan kecerdikan dan pengalamannya dalam mengabdi kepada pemimpin
thagut, mempengaruhi kebijaksanaan kekuasaannya dengan berbagai cara untuk
menundukkan rakyat, yang tercermin pada diri Haman.
3.
Kapitalis yang feodalistik dan
berkolusi dengan penguasa zhalim, yang mendukung penguasa itu dengan
hadiah-hadiah yang dikucurkannya, dengan tujuan agar dia memperoleh masukan
yang lebih besar dengan cara memeras keringat dan darah rakyat, yang tercermin
pada diri Qarun.
Tiga orang yang saling berkolusi ini
telah disebutkan di dalam Al-qur’an sebagai orang-orang yang menyebarkan dosa
dan permusuhan. Mereka bertiga menghadang risalah Musa, hingga akhirnya Allah
menjatuhkan hukuman yang mengerikan kepada mereka,
“Dan sesungguhnya telah Kami utus
Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, kepada Fir’aun,
Haman dan Qarun, maka mereka berkata, ‘(ia) adalah seorang ahli sihir yang
pendusta.” (Qs 40: 23-24)
“Dan juga Qarun, Fir’aun dan Haman,
dan sesungguhnya telah datang kepada Musa dengan (membawa bukti-bukti)
keterangan-ketarangan yang nyata. Tetapi mereka berlaku sombong di muka bumi,
dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).” (Qs 29:39)
Yang aneh, Qarun adalah seseorang yang
berasal dari kaum Musa, bukan dari kaum Fir’aun. Tetapi justru dia menindas
kaumnya sendiri dan memilih bergabung dengan musuh mereka, Fir’aun. Dengan
senang hati Fir’aun menerima kehadiran Qarun. Ini menunjukkan bahwa kepentingan
materiallah yang menyatukan mereka berdua, sekalipun ras dan keturunannya
berbeda.
Al-Qur’an Mengaitkan Tirani
Dengan Kerusakan
Di antara pesona Al-qur’an, ia
mengaitkan antara tirani dengan penyebaran kerusakan, yang menjadi sebab
kehancuran umat. Allah berfirman,
“Apakah kamu tidak memperhatikan
bagaimana Rabbmu berbuat terhadap kaum Ad?, (yaitu) penduduk iram yang
mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah debangun (suatu
kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum tsamud yang memotong
batu-batu besar di lembah, dan kaum fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara
yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat
banyak kerusakan dalam negeri itu.” (Qs Al-Fajr: 6-12)
Kadang-kadang Al-qur’an mengistilahkan
Ath-thughyan (tirani) dengan lafazh al-uluw atau kesombongan dan memaksa
manusia untuk tunduk kepada pelakunya, sebagaimana firman Allah tentang
Fir’aun,
“Sesungguhnya dia adalah orang yang
sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas.” (Qs Ad-Dukhan
:31)
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan
menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs. Al-Qashash: 4)
Begitulah kita melihat kesombongan dan
kerusakan yang saling mengait.
Al-Qur’an Mencela Orang-orang
Yang Tunduk Kepada Tiran
Al-qur’an tidak membatasi serangannya
terhadap para tiran yang menuhankan dirinya, tetapi serangan ini juga tertuju
kepada rakyat dan orang-orang yang mengikuti perintahnya, bergabung ke dalam
kelompoknya dan tunduk kepada kemauannya. Al-qur’an juga membebankan tanggung
jawab kepada mereka, di samping kepada tiran. Allah berfirman tentang kaum Nuh,
“Nuh berkata, “Wahai Rabbku,
sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang
harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian.” (Qs
Nuh:21)
Allah berfirman tentang Ad Kaum Hud,
“Dan, itulah (kisah) kaum Ad yang
mengingkari tanda-tanda kekuasaan Rabb mereka, dan mendurhakai rasul-rasul
Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi
menentang (kebenaran).” (Qs Hud: 59)
Allah berfirman tentang Kaum Fir’aun,
“Tetapi mereka mengikuti perintah
Fir’aun, padahal perintah Fir’aun itu sekali-kali bukanlah (perintah) yang
benar. Ia berjaan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke
dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi.” (Qs Hud: 97-98)
Rakyat dibebani tanggung jawab atau
sebagian dari tanggung jawab tersebut, kaena mereka tunduk kepada tiran. Inilah
yang kemudian diplesetkan oleh manusia, bahwa ada yang bertanya kepada fir’aun,
“Apa yang bisa engkau banggakan?” Fir’aun menjawab, “Aku tidak mendapatkan
seorang pun yang membelaku.”
Yang paling banyak memikul beban
disamping para tiran adalah perangkat-perangkat kekuasaan, yang di dalam
Al-qur’an disebut “junud” atau tentara, yang maksudnya adalah kekuatan militer
yang menjadi cakar dan taring kekuasaan atau cemeti yang sangat ditakuti rakyat
bila sudah berbicara.
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman
berserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (Al Qashash: 8)
“Maka Kami hukum Fir’aun dan bala
tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana
akibat orang-orang yang zhalim. (AL Qashahs: 40)
Serangan Sunnah Nabawy Terhadap
Tiran
Sunnah Nabawy juga melancarkan serangan
terhadap para tiran dan pemimpin zhalim, yang berkuasa dengan menggunakan
tongkat dan kekerasan. Jika tiran ini berkata, maka perkataannya tidak boleh
disanggah. Tiran semacam ini akan bergulung-gulung di neraka seperti
bergulung-gulugn di atas tempat tidur. Sunnah juga melancarkan serangan terhadap
orang-orang yang ikut berjalan dalam proses tiran, ikut menyalakan dupa
ditangannya, yaitu orang-orang yang ikut mendukung kezhalimannya. Bahkan sunnah
memperingatkan umat yang dikuasai perasaan takut, sehingga untuk berkata,
“Wahai orang zhalim!” kepada orang yang memang diketahui berbuat zhalim pun
mereka tidak berani.
Diriwayatkan dari Abu Musa, bahwa
Rasululah saw bersabda,
“Sesungguhnya di dalam neraka
Jahannam ada sebuah lembah. Di lembah itu ada sebuah sumur yang disebut Habhab.
Ada hak bagi Allah untuk menempatkan di dalamnya setiap pemimpin yang
sewenang-wenang lagi menentang kebenaran.” (Diriwayatkan Al-Hakim dan
Ath-Thabrany)
Dari Mu’awiyah, bahwa Nabi saw bersabda,
“Sepeninggalku akan muncul para
pemimpin yang berkata dan perkataannya tidak boleh disanggah. Mereka
melompat-lompat seperti kera yang suka melompat-lompat.” (Diriwayatkan
Ath-Thabrany dan Abu Ya’la)
Dari Jabir, bahwa Nabi SAW bersabda
kepada Ka’ab Bin Ujrah, “Semoga Allah melindungimu dari kepemimpinan
orang-orang yang bodoh wahai ka’ab!”
Ka’ab bertanya, “Apakah kepemimpinan
orang-orang yang bodoh itu?’
Beliau menjawab, “Yaitu para pemimpin
sesudahku yang tidak mengikuti pentunjukku dan sunnahku. Barangsiapa
membenarkan kedustaan mereka dan menolong kezhaliman mereka, maka mereka itu
bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk golongan mereka. Mereka tidak
akan mengembalikan tempat airku kepadaku. Barangsiapa yang tidak membenarkan
kedustaan mereka, tida menolong kezhaliman mereka, maka mereka itu termasuk
golonganku dan aku termasuk golongan mereka, dan mereka akan mengembalikan
tempat airku kepadaku.” (Qs Diriwayatkan Ahmad dan Al-Bazzar).
Dari Mua’awiyah secara marfu’, “Suatu
umat tidak akan disucikan selagi hak di dalamnya tidak dipenuhi dan orang yang
lemah tidak bisa mengambil haknya dari yang kuat selain dari goyangan.”
(Diriwayatkan Ath-Thabrany).
Dari Abdullah bin Amr, secara marfu’ ,
“Apabila engkau melihat umatku takut berkata kepada orang zhalim, “Hai orang
zhalim!” maka mereka layak diberi ucapan selamat tinggal.” (Diriwayatkan Ahmad)
*bersambung
*Taken from Fiqh Daulah dalam
perspektif Al-qur’an dan Sunnah hal 181-190. Penulis Yusuf Qardhawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar