Daulah ini bukan daulah di tangan kahanah atau para pemimpin agama,
yang beranggapan bahwa mereka bisa menggambarkan kehendak pencipta di dunia,
atau kehendak langit di dalam diri para penghuni bumi. Apa yang mereka halalkan
di bumi, tentu sudah dihalalkan di langit. Apa yang mereka larang di bumi,
tentu juga sudah dilarang di langit.
Yang pasti daulah ini adalah daulah madaniyah (sipil) yang berkuasa
atas nama islam, berdiri berdasarkan baiat dan musyawarah, orang-orang nya
dipilih yang kuat dan dapat dipercaya, dapat diandalkan dan berpengetahuan. Siapapun
yang tidak memenuhi syarat-syarat ini, maka dia tidak layak memegan daulah,
kecuali jika terpaksa dan tidak ada pilihan yang lain. Tentu saja dalam batasan
yang memang masih diperbolehkan.
Menurut pengertiannya yang benar dan penerapanya yang lurus, Islam
tidak mengenal istilah rijalud-din (para pemimpin agama), seperti yang dikenal dalam masyarakat pemeluk
agama lainnya. Setiap orang muslim merupakan pemimpin bagi agamanya. Hanya saja
ada istilah ulama yang mempunyai spesifikasi dalam berbagai disiplin ilmu Islam
serupa dengan kedudukan para pakar akhlak, filsafat dan undang-undang di
masyarakat lain.
Hubungan para ulama ini dengan daulah, mereka harus memberikan nasihat
yang memang diwajibkan Islam untuk diberikan kepada para pemimpin orang-orang
muslim maupun secara umum kepada mereka semua. Ini hukumnya wajib bagi setiap
orang muslim, namun lebih wajib lagi bagi orang-orang yang berilmu. Tujuannya,
agar daulah berjalan di atas rel islam yang benar, membatilkan yang batil,
menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram.
Mereka juga berkewajiban menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari
yang mungkar, dengan hikmah dan contoh yang baik, serta tidak perlu takut
terhadap celaan orang yang suka mencela karena Allah. Daulah juga harus
membantu mereka dalam melaksanakan kewajiban memberikan nasihat, dakwah, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Ada perlunya jika mereka
membentuk panitia atau mahkamah yang konstitusional (dustury). Setiap ketetapan
undang-undang atau hukum harus disodorkan kepada mereka, agar tidak ada sesuatu
yang bertentangan dengan islam, sehingga al-qur’an bisa berseberangan dengan
penguasa inilah yang diperingatkan dalam hadist Nabawy.
Dengan begitu ilmu dan hukum bisa berjalan berdampingan, agar
pemisahan antara keduanya seperti yang terjadi dalam berbagai peristiwa sejarah
tidak terulang kembali, ulama berada di suatu lembah dan penguasa di lembah
lain, sementara yang dekat dengan penguasa hanya para penyair dan penjilat. Bahkan
pada dasarnya seorang pemimpin muslim itu juga harus seorang yang mengetahui
syariat dan mendalami pengetahuan tentang hukum hingga ke derajat ijtihad,
seperti Al khulafa’ rasyidun, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka
adalah para imam fuqaha’ dan pandai berijtihad. Oleh karena itu para fuqaha
telah sepakat mensyaratkan ijtihad bagi para khulafa’ dan hakim. Mereka tidak
menerima ketiadaan syariat ini, kecuali dengan cara menarik garis ke bawah jika
dalam keadaan terpaksa.
Daulah islam jauh dari gambaran daulah teokrat pada zaman dahulu, juga
bukan daulah sekuler, baik kesekulerannya itu tercermin dalam pengingkaran
terhadap agama secara total dan menyatakan permusuhan dengannya, karena agama
itu dianggap sebagai perusak rakyat dan didasarkan kepada khurafat, seperti
yang terjadi di negara-negara komunis, ataukah kesekulerannya itu tercermin
dalam pemisahan agama dari negara dan pencegahannya untuk mempengaruhi
kehidupan serta masyarakat, seperti yang terjadi di berbagai negara Barat yang
menamakan dirinya sebagai negara liberalis. Sebenarnya dunia sekuler ini juga
mengakui adanya Allah. Hanya saja mereka tidak merasa membutuhkan-Nya dan tidak
memberikan tempat untuk mengatur kehidupan, sebagaimana yang dikatakan Muhammad
Asad dalam bukunya, Al-islam ‘Ala muftaraqith Thariq (Islam di persimpangan
jalan).
Daulah Islam adalah daulah madaniyah yang ditegakkan di bumi dengan
menggunakan hukum-hukum langit, bertugas menjaga perintah dan larangan Allah di
tengah manusia. Dengan begitu daulah ini layak mendapat pertolongan Allah. Tanpa
ada tugas itu, maka tidak ada jaminan eksistensi dan kelanggengannya. Allah
berfirman:
“Sesungguhnya Allah pasti menolong (agama)-Nya. Sesungguhnay Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.” (Qs 22:40-41)
*Taken From Fiqh Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Sunnah hal
43-45. Penulis Yusuf Qardhawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar