"Islamic Quotes"

Kamis, Mei 26, 2011

Hukum Rakyat dan Hukum Allah


Yang ingin kami tegaskan sejak semula, bahwa substansi demokrasi adalah sejalan dengan substansi islam, yaitu jika kita kembali kepada rujukan-rujukannya yang bening, dari Al-qur’an dan Sunnah serta prilaku Al khulafur rasyidin, bukan dari sejarah para pemimpin yang dzalim, raja-raja yang buruk, fatwa-fatwa dari orang-orang yang sebenarnya mukhlis, tapi berfikiran dangkal dan suka bertindak terburu-buru

Ada yang mengatakan, karena demokrasi itu merupakan hukum bagi rakyat oleh rakyat, yang berarti harus menolak pendapat yang mengatakan bahwa kedaulatan pembuat hukum hanya milik Allah, ini merupakan pendapat yang tidak bisa diterima. Prinsip hukum milik rakyat, yang merupakan asas demokrasi, tidak bertentangan dengan prinsip hukum milik Allah yang merupakan asas penetapan hukum dalam islam. Tapi ia bertentangan dengan prinsip hukum milik individu, yang merupakan asas diktatorisme.


Seruan untuk memberlakukan sistem demokrasi bukan berarti harus menolak kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi manusia. Orang-orang yang menyeru kepada demokrasi sama sekali tidak pernah berfikir sampai di sini. Karena yang mereka tuju hanya sekedar menolak diktatorisme yang berkuasa, menolak kekuasaan para penguasa yang sewenang-wenang, yang pada saat sekarang lazim disebut tiran.

Benar. Yang mereka maksudkan dari demokrasi ialah pemberdayaan rakyat untuk memilih para penguasa seperti yang mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku mereka, menolak perintah mereka jika bertentangan dengan undang-undang negara, yang jika diistilahkan menurut Islam : Jika mereka memerintah kepada kedurhakaan. Mereka berhak mencopot para penguasa itu jika menyimpang, tidak mau menerima nasihat dan peringatan.


Maksud Prinsip Kedaulatan Penetapan Hukum bagi Allah

Disini perlu kami pertegas sekali lagi, bahwa prinsip kedaulatan penetapan hukum milik Allah merupakan prinsip Islam yang pokok, yang ditetapkan semua ulama tatkala membahas masalah hukum syariat. Mereka sepakat bahwa yang menetapkan hukum adalah Allah. Sedangkan Nabi SAW merupakan penyampainya. Allah lah yang berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, membuat dan menetapkan hukum.

Tentang pendapat golongan khawarij, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah”, memang pendapat ini benar. Tetapi yang tidak benar adalah tindakan mereka yang meletakkan kalimat ini tidak pada tempatnya dan penggunaan kalimat ini sebagai dalil untuk menolak pengangkatan manusia sebagai pengadil jika terjadi perselisihan. Tentu saja hal ini bertentangan dengan nash Al-qur’an yang menetapkan diperbolehkannya mengangkat manusia sebagai pengadil di antara suami istri yang sedang cekcok dan perselisihan.


Oleh karena itu Amirul Mukmini, Ali bin Abi Thalib menolak pendapat mereka itu dengan berkata, “Kata-kata yang benar namun dimaksudkan batil.” Perkataan mereka itu benar, tetapi sayang mereka memaksudkannya secara batil. Bagaimana mungkin kata-kata itu tidak dikatakan benar, sementara ia diambilkan dari nash Al-Qur’an yang jelas,
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Qs 6:57 dan Qs Yusuf: 47)

Kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi makhluk sudah jelas dan diyakini, yakni meliputi dua macam:
1.  Kedaulatan penetapan hukum alam berdasarkan takdir. Dengan kata lain, Allahlah yang menciptakan alam, menangani segala urusan yang berjalan di dalamnya, menetapkan sunnah-sunnahnya yang tidak bisa diubah-ubah, yang diketahui maupun yang tidak diketahui, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,
“Dan, apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan, Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan Dialah Yang Maha Cepat hisab-Nya (Qs 13:41)

Makna yang langsung bisa dipahami di sini, bahwa hukum Allah itu adalah hukum alam yang berjalan menurut takdir, bukan hukum syariat yang diperintahkan. 
2.  Kedaulatan menetapkan hukum yang diperintahkan, yaitu berupa pembebanan, perintha, larangan, keharusan dan pilihan, yang tercermin dengan diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Dengan kedaulatan ini Dia menetapkan hukum-hukum syariat, mewajibkan yang wajib, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.

Hal ini tidak ditolak Muslim yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama, kepada Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.

Orang muslim yang mengajak kepada sistem demokrasi, dengan pertimbangan karena demokrasi itu merupakan bentuk penetapan hukum yang menyatu dengan prinsip-prinsip politik Islam dalam memilih seorang pemimpin dan menetapkan Syura, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, melawan kesewenang-wenangan, menolak kedurhakaan, terutama kedurhakaan itu sudah menjurus kepada kufur yang jelas berdasarkan bukti keterangan dari Allah.

Diantara bukti yang menguatkan hal ini, dalam teks undang-undang adalah ada yang berbunyi; “Agama daulah adalah Islam dan syariat Islam menjadi rujukan undang-undang.” Ini menguatkan kedaulatan Allah dalam menetapkan hukum dan kedaulatan syariat-Nya.

Teks undang-undang itu bisa ditambah lagi agar lebih jelas: “Setiap undang-undang atau hukum yang bertentangan dengan ketetapan syariat yang konkrit, adalah batil.” Jadi ini merupakan penguatan dan bukan penetapan dasar.

Jadi ajakan untuk menerapkan sistem demokrasi ini tidak mesti menganggap hukum rakyat sebagai pengganti dari hukum Allah, selagi tidak ada pertentangan di antara keduanya.


*Diambil dari Buku “Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah”. Pada halaman 195-197. Penulis : Yusuf Qardhawi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar