Yang ingin kami tegaskan sejak semula, bahwa substansi demokrasi adalah sejalan dengan substansi islam, yaitu jika kita kembali kepada rujukan-rujukannya yang bening, dari Al-qur’an dan Sunnah serta prilaku Al khulafur rasyidin, bukan dari sejarah para pemimpin yang dzalim, raja-raja yang buruk, fatwa-fatwa dari orang-orang yang sebenarnya mukhlis, tapi berfikiran dangkal dan suka bertindak terburu-buru
Ada yang
mengatakan, karena demokrasi itu merupakan hukum bagi rakyat oleh rakyat, yang
berarti harus menolak pendapat yang mengatakan bahwa kedaulatan pembuat hukum
hanya milik Allah, ini merupakan pendapat yang tidak bisa diterima. Prinsip
hukum milik rakyat, yang merupakan asas demokrasi, tidak bertentangan dengan prinsip
hukum milik Allah yang merupakan asas penetapan hukum dalam islam. Tapi ia
bertentangan dengan prinsip hukum milik individu, yang merupakan asas
diktatorisme.
Seruan untuk
memberlakukan sistem demokrasi bukan berarti harus menolak kedaulatan Allah untuk
menetapkan hukum bagi manusia. Orang-orang yang menyeru kepada demokrasi sama
sekali tidak pernah berfikir sampai di sini. Karena yang mereka tuju hanya
sekedar menolak diktatorisme yang berkuasa, menolak kekuasaan para penguasa
yang sewenang-wenang, yang pada saat sekarang lazim disebut tiran.
Benar. Yang
mereka maksudkan dari demokrasi ialah pemberdayaan rakyat untuk memilih para
penguasa seperti yang mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku mereka,
menolak perintah mereka jika bertentangan dengan undang-undang negara, yang
jika diistilahkan menurut Islam : Jika mereka memerintah kepada kedurhakaan.
Mereka berhak mencopot para penguasa itu jika menyimpang, tidak mau menerima
nasihat dan peringatan.
Maksud Prinsip
Kedaulatan Penetapan Hukum bagi Allah
Disini perlu kami
pertegas sekali lagi, bahwa prinsip kedaulatan penetapan hukum milik Allah
merupakan prinsip Islam yang pokok, yang ditetapkan semua ulama tatkala
membahas masalah hukum syariat. Mereka sepakat bahwa yang menetapkan hukum
adalah Allah. Sedangkan Nabi SAW merupakan penyampainya. Allah lah yang berhak
memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, membuat dan menetapkan
hukum.
Tentang pendapat
golongan khawarij, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah”, memang
pendapat ini benar. Tetapi yang tidak benar adalah tindakan mereka yang
meletakkan kalimat ini tidak pada tempatnya dan penggunaan kalimat ini sebagai
dalil untuk menolak pengangkatan manusia sebagai pengadil jika terjadi
perselisihan. Tentu saja hal ini bertentangan dengan nash Al-qur’an yang
menetapkan diperbolehkannya mengangkat manusia sebagai pengadil di antara suami
istri yang sedang cekcok dan perselisihan.
Oleh karena itu
Amirul Mukmini, Ali bin Abi Thalib menolak pendapat mereka itu dengan berkata,
“Kata-kata yang benar namun dimaksudkan batil.” Perkataan mereka
itu benar, tetapi sayang mereka memaksudkannya secara batil. Bagaimana mungkin
kata-kata itu tidak dikatakan benar, sementara ia diambilkan dari nash
Al-Qur’an yang jelas,
“Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah.” (Qs 6:57 dan Qs Yusuf: 47)
Kedaulatan Allah
untuk menetapkan hukum bagi makhluk sudah jelas dan diyakini, yakni meliputi
dua macam:
1. Kedaulatan penetapan hukum
alam berdasarkan takdir. Dengan kata lain, Allahlah yang menciptakan alam,
menangani segala urusan yang berjalan di dalamnya, menetapkan sunnah-sunnahnya
yang tidak bisa diubah-ubah, yang diketahui maupun yang tidak diketahui, seperti
yang disebutkan dalam firman-Nya,
“Dan, apakah mereka tidak melihat bahwa
sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami
kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan, Allah
menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak
ketetapan-Nya, dan Dialah Yang Maha Cepat hisab-Nya (Qs 13:41)
Makna yang langsung bisa dipahami di sini, bahwa hukum Allah itu
adalah hukum alam yang berjalan menurut takdir, bukan hukum syariat yang diperintahkan.
2. Kedaulatan menetapkan hukum
yang diperintahkan, yaitu berupa pembebanan, perintha, larangan, keharusan dan
pilihan, yang tercermin dengan diutusnya para Rasul dan diturunkannya
kitab-kitab. Dengan kedaulatan ini Dia menetapkan hukum-hukum syariat,
mewajibkan yang wajib, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.
Hal
ini tidak ditolak Muslim yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam
sebagai agama, kepada Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.
Orang
muslim yang mengajak kepada sistem demokrasi, dengan pertimbangan karena
demokrasi itu merupakan bentuk penetapan hukum yang menyatu dengan
prinsip-prinsip politik Islam dalam memilih seorang pemimpin dan menetapkan
Syura, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, melawan kesewenang-wenangan,
menolak kedurhakaan, terutama kedurhakaan itu sudah menjurus kepada kufur yang
jelas berdasarkan bukti keterangan dari Allah.
Diantara
bukti yang menguatkan hal ini, dalam teks undang-undang adalah ada yang
berbunyi; “Agama daulah adalah Islam dan syariat Islam menjadi rujukan
undang-undang.” Ini menguatkan kedaulatan Allah dalam menetapkan hukum dan
kedaulatan syariat-Nya.
Teks
undang-undang itu bisa ditambah lagi agar lebih jelas: “Setiap undang-undang
atau hukum yang bertentangan dengan ketetapan syariat yang konkrit, adalah
batil.” Jadi ini merupakan penguatan dan bukan penetapan dasar.
Jadi
ajakan untuk menerapkan sistem demokrasi ini tidak mesti menganggap hukum
rakyat sebagai pengganti dari hukum Allah, selagi tidak ada pertentangan di
antara keduanya.
*Diambil dari
Buku “Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah”. Pada halaman 195-197.
Penulis : Yusuf Qardhawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar