“em, diam sajalah...”
Kubaca kalimat
tersebut lagi.. dan lagi. Aku yang sejak pertama sudah menguat-nguatkan hati untuk
berkomentar yang sebenarnya kuakui sangat malas untuk kulakukan merasa
dijatuhkan dari gedung lantai 100.
Kata itu begitu
menusuk. Sederhana,,, tapi ia menusuk dalam. Hingga kini. Perasaan tidak tenang
yang hinggap sejak awal berkomentar semakin menjadi-jadi. Tak karuan. Ada titik
yang hampir jatuh. Tapi tetap kukuat-kuatkan. Kali ini saja fikirku, ingin
kulawan hujatan itu. Ingin kutegur hingga jera. Agar tak lagi berulah yang
sama.
Hufff ... begitu
berat rasanya, seperti ada sebongkah besi yang seberat 100 kg di dadaku.
Sejak awal memang
sudah tak ingin berkomentar di status itu, kukira dia menulis status : “Astagfirullah”
karena menyadari kesalahan yang dibuat pada status sebelumnya. Status yang
sungguh kufikir dan kurasa tak layak dibuat bagi seorang yang beraktifitas
dalam “dunia dakwah”.
Kutelurusi komen-komen
di bawahnya...
e... ternyata!!. Tidak
ada perasaan bersalah yang muncul padanya, ia merasa biasa mengatakan status sebelumnya
bahkan dia mulai lagi melancarkan hujatan pada gerakan yang berbeda dengannya. Sempat
aku berfikir, apakah diam ataukah ditegur??, mana yang lebih baik?. entah apa yang
menjadi analisaku, akhirnya kuputuskan untuk berkomentar.
Kubaca lagi
komen-komennya.
Kutuliskan komenku,
komen pertama kubaca ulang. Siip,
Masuk ke komen
kedua, aku sudah tidak merasa tenang. Cukup bingung menuliskan kalimat yang
bisa menasehati tanpa menelanjangi. Tapi ternyata... kata-kata yang tertulis yang ketika kubaca
ulang bukanlah kata-kata yang bijak. Ya, setidaknya saat itu aku sadar bahwa
aku manusia. Punya cela, punya hawa nafsu.
Komen-komen
selanjutnya akupun tak sadar apakah itu hasil dari hati yang jernih ditambah
dengan kecerdasan akal ataukah hanya emosi yang digembosi oleh hawa nafsu dan
teman dekatnya.
Tujuan saat itu
hanya satu: JERA
Sudah lama aku
tidak menyerang orang lain dengan kata-kata yang menjatuhkan dan kasar. Tapi untuk saat ini, biarlah aku membiarkan
diriku lepas dari sikap dan bahasa kehati-hatian. Memang akhirnya
ketidaktenangan itu semakin menjadi saja bercokol di hatiku.
Adakah ketenangan
ketika kita disakiti dan kita balas menyakiti??. Walaupun, mungkin orang itu
membenci kita dan gerakan kita, tapi rasanya masih tidak pantas. Masih tidak
tenang. Bukankah dia juga saudara seaqidah kita yang berbeda wadah saja?
Aku mulai
berfikir, kenapa mesti bertingkah seperti mereka, bukannya ketika bertingkah
seperti mereka berarti tak ada beda antara aku dengan mereka. Aku juga teringat
perkataan teman dekatku, “sudahlah, jangan dilanjutkan, dicuekkan saja. Nanti
anti akan bertingkah dan berkata seperti mereka. Di remove saja dari friend
list”. Sudah kulakukan, memang ada beberapa yang masih bertahan di friend
list ku, dan akhirnya terjadi juga yang dikhawatirkan temanku itu. Secara tak
sengaja kata-kata itu terbaca di home fb ku. Beberapa kali aku beristigfar...
“astagfirullah...”
Terkaget-kaget
membaca kata “I Hate You All”.
Sungguh kaget!!!.
Ternyata itukah
yang mereka rasakan kepada kami ; “KEBENCIAN”. Mungkin kata ini dan kata-kata
sebelumnya yang menjadi pemicu aku memulai berdebat di wallnya.
Dan setelah
kutelusuri, artikel-artikel yang digunakan adalah artikel-artikel yang sudah
sering kubaca.
Huuffff.... hanya
karena artikel itu mereka membenci kami.
“em, diam sajalah...”
Kalimat ini yang
membuatku merasa dijatuhkan dari lantai 100.
Benar-benar
menusuk.
Aku sadar waktu
itu aku telah ditegur oleh-Nya: Rabbku...
Mungkin pada saat
itu aku sudah masuk ke sebuah kata: BERLEBIHAN.
Aku merasa
bersalah kepada-Nya. Sang pemilik jiwaku.
Rabbi.....,
sungguh kata maaf
hanya ingin kuucapkan kepadamu, bukan kepada makhluk-Mu.. bukan..... bukan
karena aku tak suka dengan kata itu. Tapi kata itu menjadi bukti bahwa ada yang
saudaraku yang kusakiti dengan kata dan tingkahku.
Alangkah sulitnya
nasibku kelak di akhirat jika orang yang kusakiti tak memaafkan. Bukankah aku
harus mengejar kata maafnya hingga akhirat kelak.
Lalu... Rabbi...
Seakan Engkau
ingin mengingatkanku lagi lewat curhat teman dekatku,
“Ukhti... saya
merasa banyak dosa.” Katanya
“Kenapa?”
tanyaku.
“saya merasa
berpenyakit hati?” katanya
“Jatuh cinta
kah?, atau benci? Tanyaku
“Bukan!!” lebih
parah dari jatuh cinta”. Jawabnya
“ape tuh”
tanyaku mengejar...
“Ana merasa
telah banyak berubah... menjadi lebih sombong”.. jawabnya
Deeegggg...
Rabbi... lirih ku
beristigfar...
Akhirnya Engkau
jawab juga perasaan tidak tenangku selama debat tersebut. Ada pakaian sombong
yang mulai kukenakan.
Rabbi... itukah
yang Engkau coba ingatkan padaku.
Kubaca ulang lagi
setiap kata dan kalimat yang kutulis diwallnya,,,
Dan aku hanya bisa
beristigfar...
Ya, berat
mengakuinya,,, memang terselip kesombongan yang sangat halus disana.
Rabbi, ampunkan
hamba,.
Tolong dekatkan
hamba kepada orang-orang yang Engkau ridhai, dan jauhkan hamba dari orang-orang
yang tidak Engkau ridhai. Cintakan hamba kepada orang yang mencintai-Mu dengan
tulus dan sepenuh jiwa. Jauhkan hamba dari sifat yang Engkau benci, lekatkan
hamba kepada sifat yang Engkau cintai, ridhai dan rahmati.
aamiiin
*sebuah tekad
terpartri: Lebih berhati-hati.
@Bumi Khatulistiwa
25 Mei 2011
03.30am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar