Didunia
ini, Segala sesuatu pasti mengalami perubahan
Kecuali
perubahan itu sendiri...
Dia
tidak mengalami perubahan
Karena
perubahan tetaplah perubahan...!
Sebuah pertanyaan besar yang harus ditanyakan kepada
KAMMI hari ini adalah perubahan seperti apa yang diinginkan KAMMI terhadap
Indonesia, negara tercintanya. Apakah perubahan simbol ataukah perubahan
substansi??.
Kenapa hal ini perlu ditanyakan, karena jawabannya akan sangat
menentukan arah gerak kita kedepan. Yang saya maksud perubahan simbol adalah
perubahan yang hanya bersifat tampak secara kasat mata yang mengejawantahkan
diri dalam bentuk verbal simbol-simbol. Sedangkan perubahan substansi adalah sebuah
perubahan yang menyentuh ke akar permasalahan, ia cenderung tak tampak, namun
dapat dirasakan dan diamati kehadirannya.
Untuk lebih jelasnya, mungkin saya akan memberikan
beberapa contoh: pertama, misalnya pada kasus hijrahnya seorang aktifis dakwah.
Hijrahnya seseorang dari kegelapan menuju cahaya terang dapat ditandai oleh
berbagai hal. Tergantung dari sudut pandang
orang yang melihat prosesi hijrahnya seseorang tersebut. Orang akan mengatakan
bahwa seseorang itu hijrah ataupun telah menjadi aktifis dakwah ketika dia
sudah tidak bergaul kembali dengan "teman-teman lama" yang jahil.
Kedua ketika dia bergabung dalam sebuah organisasi keislaman, ataukah masuk
kedalam sebuah jama'ah. Ketiga, ketika dia ikut dalam proyek-proyek kebaikan.
Keempat, ketika ia sudah mengikuti proses "tarbiyah" secara
kontinu. Kelima, ketika orang tersebut (jika akhwat) menggunakan jilbab, baju
longgar dan rok, serta kaos kaki. Dan jika orang tersebut ikhwan ketika
sudah ada janggut di dagunya dan ada tanda hitam di dahinya. Keenam, jika orang
tersebut baik ikhwan dan akhwat berbicara dengan lawan jenis dengan menundukkan
pandangan/ atau tidak melihat ke lawan bicara, serta tidak berjabat tangan.
Ketujuh ketika dia diperintahkan oleh mas'ulnya ataupun qiyadahnya ia selalu patuh.
Kedelapan ketika dia berbicara, ataupun mendengar dengan adab yang baik dan
berdiskusi dengan adab yang baik. Kesembilan ketika kemana-mana dia selalu
membawa mush'af Al_Qur'an ataupun banyak hapalannya. Dan masih banyak contoh
yang lain yang bisa kita amati. Perubahan yang seperti ini saya katakan
sebagai sebuah perubahan simbol. Perubahan yang dapat kita lihat secara kasat
mata. Perubahan seperti ini bisa saja hilang suatu saat jika tidak didukung
oleh perubahan substansi. Perubahan substansi menurut saya adalah sebuah
perubahan yang hanya orang itu sendiri yang mengetahuinya, namun dapat
dirasakan oleh orang—orang yang ada disekitarnya. Misalnya begini bisa saja
orang-orang tersebut yang kita namakan sudah hijrah ataupun seseorang itu
adalah aktifis dakwah, melakukan semua itu hanya untuk mendapatkan pengakuan
sebagai bagian dari sebuah komunitas. Atau mungkin saja ia hanya sekedar
ikut-ikutan saja tanpa memahami makna yang telah dilakukan. Ataupun juga ia tidak
bisa melepaskan diri karena sudah terlanjur "terjerat". Perubahan itu
bisa diuji apakah ia perubahan simbol ataukah perubahan substansi dengan
melihat gejala-gejala yang ada ataupun yang tampak dari si pelaku seiring
berjalannya waktu. Misalnya begini, menurut saya seseorang yang dikatakan hijrah,
yang melakukan perubahan substansi itu adalah ketika ia mengikuti sesuatu itu
dengan pemahamannya. Dan itu akan dilihat dari berjalannya waktu, artinya
ketahanan dia untuk melakukan sebuah perubahan yang bersifat simbol itu sejauh
mana. Karena sejatinya perubahan bersifat substansi akan dapat mendorong
perubahan yang bersifat simbol. Dan jawabannya adalah ketika si pelaku perubahan tersebut di uji
oleh beberapa cobaan, apakah dia tetap bersikukuh dengan "simbol"
yang selama ini tampak/lakukan ataukah tidak. Ataupun sejauh mana dia mampu
bersabar dan bertahan ketika dia dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang
benar-benar menguji kepahaman gerak dari "simbol" yang dia lakukan
selama ini.
Kedua, pada wilayah kampus. Banyak yang menilai bahwa
sebuah kampus sudah dikatakan futuhat ketika kita sudah melakukan ekspansi
dakwah. Dengan ukuran berapa lembaga yang ikhwah kita menduduki jabatan
strategis disana. Misalnya sebagai ketua BEM, HMJ, dan ketua-ketua di elemen
kampus lainnya. Kampus sudah dikuasai ketika kita sudah menguasai lebih dari
50% jabatan struktural yang ada dikampus tersebut. Ini juga yang saya maksud
dengan perubahan simbol. Pada sesuatu yang tampak. Yaitu perubahan dimaknai
sebagai sebuah kemenangan ketika kita sudah menguasai struktural yang ada.
Ataupun bahasa kerennya: perubahan struktural. Namun, menurut saya perubahan
bersifat simbol itu bisa saja lenyap jika tidak dibarengi dengan perubahan
substansi. Misalnya, saya lebih memaknai sebuah perubahan itu berarti futuhat
(baca: kemenangan dakwah) jika kita sudah berhasil mempengaruhi baik pola
pikir, hidup, gerak dari seluruh civitas akademika (baca: warga kampus).
Artinya perubahan secara kultural. Karena perubahan kultural akan mendukung
atau mempelopori munculnya perubahan struktural. Jadi perubahan untuk wilayah
kampus itu tidak hanya dimaknai sebagai penguasaan lembaga, namun lebih jauh
dari itu yaitu bagaimana warga kampus itu tersibghoh dengan nilai-nilai
tarbiyah (baca: keislaman) dan mereka "aman" hidup dengan kita dan
dapat mendukung "proyek-proyek keislaman" yang ada serta mereka
mempercayai kita untuk menjadi pemimpin mereka. Artinya perubahan yang lahir
atas dasar kesadaran yang berlandaskan pada pemahaman yang komprehensif. Dan
tentunya tidak akan terjadi peristiwa di kampus krisis kepemimpinan, atau
krisis kader jika kita sudah futuhat atau mampu mensibghoh warga kampus. Karena
kita sudah menyiapkan kultural yang ada untuk mampu memback-up proyek2
kebaikan. Dan jika yang terjadi adalah kekalahan dalam menjabati struktural itu
berarti kita baru melakukan perubahan dalam bentuk simbol yaitu simbol-simbol kekuasaan
(perubahan struktural). Dan jika kita ingin menang maka kita harus mampu
melakukan perubahan substansi yaitu pada warga kampusnya (perubahan kultural).
Ketiga, contoh kasus negara Indonesia. Indonesia
dikatakan mengalami perubahan jika Soeharto sudah jatuh/ turun tahta. Ataupun
pemerintahannya sudah berubah nama dari pemerintahan orde baru menjadi
pemerintahan reformasi. Ataupun orang-orang yang menjadi menteri dalam kabinet
Soeharto dulu tidak lagi menjadi kabinet di pemerintahan sekarang. Ataupun
orang-orang yang menjabat di pemerintahan adalah wajah-wajah baru, bukan orang
yang pernah menjabat pada era orde baru. Artinya berubah wajah. Ini juga saya
namakan sebagai perubahan simbol. Perubahan yang termanifestasi dalam
bentuk-bentuk yang tampak. Jika kita memaknai perubahan seperti itu yang
diinginkan oleh KAMMI atau gerakan mahasiswa lainnya, maka bisa dikatakan
reformasi sudah berhasil. Namun menurut saya perubahan simbol ini tidak akan
bertahan lama, karena ia akan mengalami masa kembali ke bentuk awal kalau tidak
diikuti oleh perubahan substansi. Karena sistem yang lama sudah melakukan
regenerasi yang utuh baik itu dari kutural masyarakat maupun sistem/struktur
yang ada. Maka kita harus mampu melakukan perubahan substansi. Kenapa kita
perlu melakukan perubahan substansi (baca: perubahan kultural) di Indonesia??
Karena menurut saya perubahan substansi itu akan mampu mempelopori perubahan
dalam bentuk simbol. Misalnya jika kita sudah mampu merubah kultur masyarakat
dan paradigma berfikir mereka, maka secara otomatis mereka akan mampu untuk
merubah struktur yang ada. Artinya mereka akan dapat memilih siapa/orang yang
tepat untuk duduk di pemerintahan. Namun, bukan berarti saya mengenyampingkan
perubahan simbol, tidak.. Tetap kedua perubahan untuk harus berdampingan hingga
kita mampu mengukur secara jelas. Karena kedua-duanya dibutuhkan dalam konteks
perubahan.
Jika kita berkaca kepada siroh nabawiyah, tentu kita bisa
melihat bahwa yang pertama kali dirubah oleh Rasulullah adalah pola pikir/
paradigma berfikir masyarakat. Dan baru Baginda Rasulullah merubah struktur
tatanan masyarakat/ pemerintahan yang ada. Dan upaya pertama yang
dilakukan adalah dengan "IQRO" membaca.
Artinya secara manhaj dakwah yang diajarkan oleh
Rasulullah bahwa perubahan struktur (baca: simbol, bisa saja simbol-simbol kekuasaan,
dll) akan dapat menjadi sebuah substansi kemenangan jika kita sudah terlebih
dahulu merubah substansinya, yaitu perubahan kultural. Dan itu juga yang harus
dipikirkan oleh KAMMI kedepannya.
Sebuah aksioma yang tak bisa kita pungkiri adalah bahwa
setiap perubahan itu selalu membutuhkan sebuah proses. Dan sebuah proses pasti
membutuhkan sebuah ruang yang dinamakan waktu. Bahkan bisa jadi proses ini akan
mengambil waktu yang sangat panjang. Oleh karena itu kematangan berfikir,
kedewasaan bertindak, kecermatan dalam menghitung-hitung analisa/ kejadian dan ketepatan dalam
menentukan sikap dan tindakan sangat dibutuhkan untuk mencapai sebuah
kemenangan. Dan hakekat sebuah proses tentunya akan membutuhkan waktu baik itu
singkat maupun panjang/lama. Dan hakekatnya jika ada waktu dalam proses maka
pasti akan ada "cobaan" dan "ujian". Karena hidup sejatinya
hanyalah tempat Allah untuk "menguji" makhluknya. Dan bentuk cobaan
bisa bermacam-macam, bisa berupa kesenangan, kesedihan, ketenangan, keonaran,
ketenara, kejumudan bisa berbentuk apa saja. Dan syarat untuk menghadapi cobaan
adalah: kesabaran dan keikhlasan dan kemampuan untuk mengevaluasi diri dan
bangkit setelah terduduk.
Maka dari itu perubahan yang kita lakukan harus syamil
yaitu mencangkup kedua sisi yaitu sisi simbol (bisa dibaca: struktural) maupun
substansi (bisa dibaca: kultural). Dan kedua kata ini sudah termaktub dalam
sebuah kata dalam Al-Qur'an yaitu : KAFFAH. Atau biasa kita baca menyeluruh.
Maka dari itu jika kita menginginkan kemenangan dakwah ini sebagai manifestasi
dari kemenangan islam maka kita harus melakukan perubahan secara kaffah. Baik
dari sisi internal gerakan maupun eksternal gerakan.
Dalam internal gerakan KAMMI, perubahan simbol (baca:
struktural) lebih banyak diperankan oleh Departemen Kebijakan Publik/ KASTRAT.
Yang mana mereka melakukan perubahan dalam bentuk simbol-simbol kekuasaan.
Misalnya dengan melakukan aksi-aksi/ Demo terhadap
pejabat pemerintahan dalam rangka mengkritisi pemerintahan. Dengan pressure /penolakan jika
kebijakan tidak berpihak pada rakyat. Dan tawaran solusi (walaupun terkadang
tidak matang) jika elit pemerintahan membutuhkan sebuah solusi. Sementara
perubahan substansi (kultural) lebih banyak diperankan oleh teman-teman yang
berada di Departemen Sosial Kemasyarakatan. Dengan melakukan pembinaan,
pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat. Departemen Sosmas yang akan lebih
banyak ataupun lebih berperan dalam merubah paradigma berfikir masyarakat dan
membentuk basis/ komunitas-komunitas masyarakat yang akan melakukan perubahan.
Sementara Departemen Kaderisasi lebih fokus kepada pembentukan kader yang
dibutuhkan untuk mampu melakukan perubahan baik itu dalam bentuk simbol (baca:
struktural) ataupun dalam bentuk substansi (baca: kultural).
Selama ini yang saya cermati, ketiga departemen ini
cenderung untuk bergerak sendiri-sendiri (maaf kalau salah). Sehingga tidak ada
sebuah design yang utuh dari KAMMI untuk perubahan Indonesia. Misalnya begini,
ketika teman-teman yang berada di
Departemen Kebijakan Publik/kastrat ingin melakukan perubahan struktural
(simbol) dalam bentuk mengkritisi kebijakan. Teman2 Sosmas fokus kepada
kerjanya sendiri dengan membuat basis massa/ masyarakat yang tidak/ belum
sesuai dengan kebutuhan. Dan bahkan teman-teman sosmas belum mampu untuk
membentuk basis masyarakat itu tapi lebih banyak terjebak pada aksi2 sosial
misalnya: aksi pengumpulan dana, sunatan massal, penyuluhan kesehatan, dll yang
bersifat sementara dan musiman. Sementara itu juga di lain pihak Departemen
Kaderisasi seakan tidak mau tahu akan kebutuhan dari kedua departemen itu dalam
upaya melakukan perubahan baik itu dari sisi struktural maupun kultural.
Departemen kaderisasi lebih fokus menyiapkan kader untuk siap di mobilisasi,
tapi bukan dalam kerangka pembinaan untuk memenuhi kebutuhan perubahan yang
akan dilakukan. (mungkin ini sudah disadari bersama. Saya hanya ingin
memaparkan ulang saja)
Sebenarnya kerja-kerja KAMMI akan lebih strategis,
produktif dan progressif jika departemen-departemen yang ada mampu
bersinergis. Dan peran itu yang harus dilakukan KAMMI kedepannya. Bukan berarti
hanya terjebak pada kerja-kerja perubahan struktural yang dalam lingkup mengkritisi
kebijakan (baca: nolak/protes terus/demo terus). Atau juga terjebak pada
kerja-kerja perubahan kultural (baca: aksi sosial/penggalangan dana terus).
Tapi saya pikir, sudah harus mulai memikirkan yang lebih dalam dari itu semua
yaitu benar-benar melakukan perubahan struktural dalam bentuk konkret tawaran
solusi untuk pemerintahan. (bukankah salah satu pointer dalam prinsip gerakan
KAMMI: solusi islam adalah tawaran perjuangan KAMMI). Dan juga benar-benar
melakukan perubahan kultural yaitu menyiapkan komunitas-komunitas
masyarakat menjadi berdaya dan mandiri (baca: mampu melakukan perubahan dan
pengembangan masyarakat sendiri). Yang ini juga sesuai dengan visi KAMMI
menjadikan masyarakat menjadi masyarakat islami. (bukan berarti paradigma yang
ada bahwa semua masyarakat Indonesia harus beragama islam semua, namun
bagaimana nilai2 islam menjadi prilaku hidup masyarakat).
Sebenarnya jika saya diperbolehkan untuk menganalisis,
maka saya akan memaparkan analisis saya dan memberikan beberapa tawaran solusi untuk
KAMMI agar dapat melakukan sebuah perubahan secara KAFFAH. Dan jika saya
membaca GBHO KAMMI, maka sebenarnya itu sudah bisa membantu KAMMI keluar dari
permasalahan internal gerakan maupun eksternal gerakan. Hanya saja kita jarang
menjadikan GBHO sebagai panduan gerak kita. Mohon maaf jika saya salah,
biasanya dalam banyak kasus, GBHO atau perangkat sidang lainnya biasanya hanya
"diributkan" pada saat acara Muktamar (atau sidang/musyawarah) dan
ketika selesai perangkat sidang tersebut (GBHO, AD/ART, Rekomendasi, dll) hanya
kita buka jika ingin mengadakan MUKERNAS/ DA/ KOM. Ataupun pada saat akan
Muktamar/ MUSDA/ MUSKOM. Atau jika ada sebuah permasalahan besar yang terjadi.
Dan jika tidak ada moment2 seperti itu maka perangkat2 sidang itu akan tersimpan
dalam tempat/ lemari penyimpanan dengan rapi, bahkan saking rapinya menyimpan
barang tersebut tidak ketahuan berada dimana/ hilang. Dan juga tidak ada upaya
untuk mengkaji lebih dalam tentang hal tersebut, membedah bersama struktural
kepengurusan maupun kader-kader yang ada. Sehingga wajar pewarisan (baca;
regenerasi) yang dilakukan tidak matang dan komprehensif. Dan akhirnya kita
bisa menuai hasil di akhir, "KEBINGUNGAN" .
Jika kita buka GBHO KAMMI pusat pada pasal 21 ayat 5 dan
6 sudah cukup jelas, gerakan apa yang harus dilakukan oleh KAMMI. Saya pribadi
cukup sepakat jika KAMMI mengambil peran pembangunan gerakan intelektual
profetik. Atau intelektual kenabian. Hanya saja hal ini tidak/belum terlaksana
dalam 2 tahun kepengurusan ini. Jika saja kita mampu konsen dalam membangun
gerakan intelektual profetik tersebut maka hari ini mungkin kita sudah mampu
menuai hasilnya. Pembangunan gerakan intelektual profetik itulah yang
menyatukan atau mampu mensinergiskan kerja-kerja dari Departemen-departemen
yang ada. Dalam rangka melakukan perubahan simbol (baca: struktural) dan
perubahan substansi (baca: kultural).
Permasalahan yang terkadang muncul dilapangan ataupun isu-isu yang beredar
dilapangan adalah KAMMI ini hanya sibuk berwacana saja atau aksi saja namun tidak
ada hasil yang konkret yang bisa dihasilkan ataupun dikerjakan. Ya, dalam wujud
KARYA NYATA untuk Indonesia. Beberapa orang anggota yang sudah masuk di KAMMI,
yang terpesona dengan tampilan luar KAMMI cenderung kecewa, karena yang
dihadapi dan/atau dihadapkan pada diskusi-diskusi melulu ataupun aksi-aksi
melulu. Lalu dengan langkah teratur mereka (baca: kader yang baru terekrut)
mundur kebelakang. Keluar atau bersembunyi dari KAMMI. Yang bertahan kebanyakan
adalah kader-kader yang pada dasarnya memang sudah tertarbiyah baik itu pada
saat dia masih di SMA dulu, maupun yang terbina di kampus. Dan yang
benar-benar real kader KAMMI, atau cetakan KAMMI itu tidak ada or tidak banyak
dan kalaupun ada jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Akhirnya yang terjadi adalah
"rebutan kader" ataupun bahasa yang paling sering muncul: "KAMMI
selalu mendapatkan kader sisa", "KAMMI dimarginalkan" dsb.
(Wuih... jelek banget bahasanya, padahal setiap kader yang tergabung dalam
barisan dakwah sudah pasti merupakan bintang-bintang yang bercahaya yang
cahayanya ada yang redup dan ada yang terang, hanya tinggal diasah saja atau
menunggu moment yang tepat untuk bersinar menyinari dunia). Sebenarnya ini
tidak akan terjadi jika KAMMI mampu membuka pintu-pintu baru perekrutan untuk
orang-orang yang belum "terbina". Sehingga KAMMI mempunyai kader real
KAMMI, bentukan KAMMI.
Untuk mengatasi permasalahan yang dipaparkan pada alenia
diatas, saya mengusulkan untuk melakukan pembangunan gerakan Intelektual
Profetik yang mensinergiskan kerja-kerja departemen Kebijakan Publik dan Sosial
Kemasyarakatan. Artinya, begini kerja-kerja departemen Kebijakan publik itukan
lebih mengarah kepada perubahan simbol (baca: struktural), sedangkan
kerja-kerja departemen Sosial Kemasyarakatan itu lebih mengarah kepada
perubahan substansi (baca: kultural). Dan KAMMI tidak bisa memilih salah satu
saja, misalnya hanya memilih perubahan struktural saja sebagai wahana
pencerdasan kader dalam wilayah-wilayah siyasi/ politik. Karena mungkin merasa
bahwa itu adalah khitohnya KAMMI. Namun, menurut saya khitohnya KAMMI itu sudah
termaktub dalam VISI KAMMI. Seperti yang saya katakan di awal bahwa perubahan
substansi (kultural) akan mendorong perubahan dalam bentuk simbol (baca:
struktural). Perubahan itu akan maximal dilakukan jika keduanya berjalan
beriringan. Bukankah sudah banyak contoh yang menggambarkan bahwa jika kita
hanya melakukan perubahan struktural yaitu misalnya dalam bentuk simbol
kekuasaan, dengan hanya menempatkan kader kita menjabat di struktural kepemimpinan
tanpa melakukan perubahan kultural yaitu membangun dan mengokohkan basis-basis
massa. Maka kemenangan itu menjadi timpang, karena pertama kita tidak mendapat
dukungan yang komprehensif dan yang kedua karena nantinya akan terjadi
kebingungan regenerasi kepemimpinan, yaitu tidak ada yang menggantikan
kepemimpinan yang akan lengser.
Maka perubahan secara KAFFAH yang dicontohkan oleh
Rasulullah adalah dengan mensinergiskan kedua perubahan tersebut yaitu
perubahan substansi (baca: kultural) dengan perubahan simbol (baca:
struktural). Dan saya mengusulkan agar itu juga dilakukan di KAMMI, yaitu
dengan membangun gerakan intelektual profetik. Yaitu dengan membuat lokus-lokus
intelektual dan atau lokus-lokus keilmuan yang akan menghasilkan sebuah karya
nyata untuk masyarakat Indonesia dan tidak terjebak pada diskusi-diskusi ilmiah
atau diskusi-diskusi kebijakan yang tak menghasilkan sebuah kerja hanya
berakhis pada diskusi saja.
Misalnya seperti ini, dari pertama kali seorang kader
tergabung di KAMMI, mereka sudah dilibatkan pada lokus-lokus tersebut (dengan
catatan tidak meninggalkan MK-MK ataupun sarana kaderisasi yang ada).
Lokus-lokus tersebut bertugas untuk mengkaji keilmuan, misalnya, contoh kasus
pendidikan. Lokus pendidikan berfungsi untuk mengkaji pendidikan di Indonesia,
dari sistem, kebijakan, politik pendidikan, permasalahan hingga bagaimana
pandangan islam terhadap pendidikan dan bagaimana konsep/strategi yang
digunakan islam untuk mengkaji hal tersebut. Dan ini tidak hanya terjebak pada
tataran diskusi saja, atau kerja-kerja analisa saja (kerja-kerja anak Kebijakan
Publik), tapi akan berlanjut dengan kerja real di masyarakat (kerja-kerja anak
soskesmas), yaitu bagaimana lokus ini melakukan perubahan terhadap pendidikan
di Indonesia dalam bentuk real, yaitu membentuk tawaran solusi kepada pihak
terkait, konsep pendidikan Indonesia versi KAMMI, beraudiensi dengan pejabat
pemerintahan yang terkait ataupun dengan mengambil peran dimasyarakat yaitu
dengan membentuk sekolah rakyat atau sekolah untuk pemberantasan buta aksara,
atau program pendidikan yang lain yang real bisa dirasakan oleh masyarakat. Dan
intensitas antara kajian dan turun dimasyarakat ini harus diatur sehingga
lokus-lokus menjadi dinamis. Dan ini memerlukan pengawalan dan keistiqomahan
gerak.
Keuntungannya adalah pertama kader KAMMI menjadi
profesional dibidangnya/ ahli (expert) dibidangnya karena mereka akan lebih
menguasai bidang tersebut dan dengan tidak meninggalkan jati dirinya sebagai
kader politik. Karena dalam pendidikan juga ada belajar tentang politik. Saya
memaknai politik itu ada cara/strategi yang kita pakai untuk mencapai tujuan.
Kedua, wahana pembelajaran politik bagi kader yaitu bagaimana mereka
menganalisa sebuah kebijakan dan bagaimana berhubungan dengan pejabat2 pemerintahan
yang terkait dengan bidang mereka. Ketiga, sebagai pembelajaran bermasyarakat
bagi kader yaitu bagaimana melakukan kerja nyata di masyarakat. Sehingga kedua
pembelajaran tersebut menjadi terasah dan maximal karena kerja-kerja mereka
real bisa dilaksanakan. Keempat kita akan lebih mempercepat proses pengambilan
peran di pemerintahan baik itu di exuctive, legislative maupun yudicative atau
bahkan di LSM dan pengamat sekalipun. Karena KAMMI memiliki banyak stock ahli
dalam bidang ilmunya sehingga peran untuk membangun pemerintahan yang bebas
ORBA (baca: bebas dari orang-orang orba) itu semakin menuju titik terang. Dan
akhirnya tercipta Indonesia sejahtera dengan orang-orang yang bersih niat dan
amalnya. Tentu saja peran KAMMI dan LDK berbeda, karena kader KAMMI sudah
terbiasa untuk bermain di kancah perpolitikan sehingga tidak akan menjadi
"orang lugu" ketika nanti terjun ke dunia pemerintahan dan
masyarakat. Dan akan lebih baik jika pembelajaran dimulai dari awal. Sehingga
akan tercipta kader KAMMI yang profesional dalam bidang ilmunya dan politis.
So, Politikus profesi.
Dan lokus-lokus intelektual dan keilmuan ini tidak hanya
berkisar pada tingkat daerah, namun juga pada tingkat pusat. Misalnya pusat
menfasilitasi dengan membuat milis-milis intelektual dan keilmuan (pendidikan,
ekonomi, politik, hukum, pertanian, kehutanaan, MIPA atau SDA, dsb). Sehingga
kader KAMMI akan diasah dalam wacana nasional tidak hanya lokal. Dan milis bisa
dijadikan sebuah perangkat intelektual para kader KAMMI untuk belajar bidang
keilmuannya dan politik dan membangun kultur diskusi yang sehat. Saya memaknai
kultur diskusi yang sehat adalah diskusi yang mencari KEBENARAN bukannya
mencari PEMBENARAN.
Untuk menjadikan sebuah gerakan menjadi gerakan
intelektual profetik, maka dibutuhkan beberapa perangkat dan kultur gerakan
yang memang sengaja disiapkan, dirancang dan dibangun serta dibiasakan untuk
dikerjakan dari semenjak kader memasuki wadah bernama KAMMI ini.
Namun, tetap saja peran-peran dari Kebijakan publik dan
sosial kemasyarakatan tidak dimatikan /dimandulkan dalam kerangka menyikapi
permasalahan kontemporer Indonesia, baik dari sisi politik/kebijakan
pemerintahan maupun kemasyarakatan. KAMMI tetap berada terdepan dalam mengatasi
hal tersebut. Namun, menurut saya kita juga harus mampu menyeimbangkan akan
kebutuhan pragmatisme gerakan dan juga substansi/ inti gerakan. Saya cukup
yakin ketika hal ini dilakukan dan kita tetap istiqomah untuk melaksanakan dan
mengawalnya maka KAMMI akan meraih sukses. Akan ada sebuah proses regenerasi
baik itu dari struktur kepemimpinan hingga struktur kebijakan serta kultur yang
berkesinambungan. Sehingga KAMMI akan dapat mampu mencapai visinya. Yaitu
mencetak pemimpin masa depan dan menciptakan masyarakat islami. Karena dengan
keilmuan yang ada apakah itu dari sisi politik, pendidikan, hukum, pertanian,
SDA, teknologi, kehutanan, dan masih banyak sisi keilmuan lain akan mampu
mencari parameter masyarakat islami itu seperti apa. Dan akhirnya terbentuklah
masyarakat islami. Dan juga sosok pemimpin masa depan yang dibutuhkan itu
seperti apa. Dan akhirnya KAMMI mampu dengan real melahirkan sosok pemimpin
tersebut. Sebuah aksioma yang tidak bisa kita pungkiri bahwa sebuah perubahan
itu membutuhkan proses yang kadang panjang dan kadang pendek. Dan semoga kita
tetap mampu bersabar, dan bertahan dengan proses perubahan yang ada. Dan juga
kita mampu mengendalikan perubahan tersebut. Sehingga perubahan menjadi KAFFAH.
Wallahu'alam bishowab.
Borneo, 27 Juli 2006
ini tulisan dah lama banget..
BalasHapussengaja diupload di blog,..
biar gak hilang aja....