DASAR kedua: bahawa Islam telah
memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram,yaitu dengan
melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan
manusia tersebut dalam bidang agama mahupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata
ditangan Allah.
Bukan
pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan
halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan
menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia.
Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah
menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut
"musyrik". Firman Allah:
“Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang
mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?”
(as-Syura: 21)
Al-Quran
telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan
kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, dengan
firmannya sebagai berikut:
“Mereka itu telah menjadikan para pastor dan
pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah
dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti
kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari
apa-apa yang mereka sekutukan.” (at-Taubah: 31)
'Adi
bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah --pada waktu itu
dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam-- setelah dia mendengar
ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak
menyembah para pastor dan pendeta itu.
Maka jawab Nabi s.a.w.:
"Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram
terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian
mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka."
(Riwayat Tarmizi)
"Memang mereka (ahli kitab) itu tidak
menyernbah pendeta dan pastor, tetapi apabila pendeta dan pastor itu
menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta
dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga."
Orang-orang
Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada
murid-muridnya --ketika beliau naik ke langit-- suatu penyerahan (mandat) untuk
menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil
Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut: "Sesungguhnya aku
berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak
di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di
sorga."
Al-Quran
telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan
menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut:
“Katakanlah! Apakah kamu mengetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada
rezeki, kemudian dijadikan sebahagian daripadanya itu, haram dan halal;
katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak
berdusta atas (nama) Allah?” (Yunus: 59)
Dan
firman Allah juga: “Dan jangan kamu
berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan
dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama)
Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah
tidak akan dapat bahagia.” (an-Nahl: 116)
Dari
beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih
mengetahui dengan pasti, bahawa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan
haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah).
Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram
itu. Seperti firmanNya:
“Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu
apa yang Ia haramkan atas kamu.” (al-An'am: 119)
Para
ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini
tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada
menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada
kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).
Imam
Syafi'i dalam al-Um [5] meriwayatkan, bahawa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah
pernah mengatakan: "Saya jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa
mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram,
kecuali menurut apa yang terdapat dalam al-Quran dengan tegas tanpa memerlukan
tafsiran”.
Kata
Imam Syafi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari ar-Rabi' bin
Khaitsam --dia termasuk salah seorang tabi'in yang besar-- dia pernah berkata
sebagai berikut: "Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang
berkata: “Sesungguhnya
Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah berkata
kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya. Atau dia juga
berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata:
"Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang
dia."
Imam
Syafi'i juga pernah berkata: Sebahagian kawan-kawanku pernah menceriterakan
dari Ibrahim an-Nakha'i --salah seorang ahli fiqih golongan tabi'in dari
Kufah-- dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahawa mereka itu
apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini
makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal
dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!
Demikianlah
apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang kemudian diambil
juga oleh Imam Syafi'i dan diakuinya juga. Hal ini sama juga dengan apa yang diriwayatkan
oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Bahawa ulama-ulama salaf dulu tidak mahu mengatakan haram,
kecuali setelah diketahuinya dengan pasti." [6]
Kami dapati juga imam Ahmad,
misalnya, kalau beliau ditanya tentang sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku
tidak menyukainya, atau hal itu tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang
atau saya tidak menganggap dia itu baik.
Cara
seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam Malik, Abu
Hanifah dan lain-lain [7].
taken from : HALAL dan Haram: Dr. Yusud Al-Qardawhi
taken from : HALAL dan Haram: Dr. Yusud Al-Qardawhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar