Seperti halnya
pribadi
dan masyarakat muslim, maka negara Islam pun spesifik pula keadaannya.
Secara garis besar ada dua model negara Kafir, yaitu negara
yang memerintah rakyat dengan kehendak rakyat untuk mewujudkan aspirasi dan
keinginan rakyat, dan negara yang memerintah rakyatnya dengan cara merampas hak
rakyat untuk mewujudkan aspirasi pribadi-pribadi yang memerintah dan kehendak
mereka.
Sedangkan negara atau pemerintahan Islam yang tercermin
dengan Amir Al-Mukminin, tidak sah memerintah kaum muslimin kecuali
dengan kerelaan mereka, dan untuk menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah perbedaan
yang paling bertolak belakang. Rakyat kafir,
dari pemerintahnya menghendaki terwujudnya apa-apa yang dikehendakinya. Jika rakyat
hari ini menginginkan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka
kemarin, maka pemerintahan harus mewujudkannya. Jika rakyat menghendaki sesuatu
yang bertentangan dengan hari ini, maka kewajiban pemerintah adalah mewujudkan
keinginan rakyat tersebut.
Berbeda dengan pemerintahan Islam, rakyat dalam negara ini berba’iah
untuk beriltizam dengan kitab dan sunah. Ini menjadikan ia tidak
dapat keluar dari Kitab dan Sunah. Malah siapapun tidak diperbolehkan keluar
dari keduanya. Dengan keiltizamannya ini negara dapat meminta saran atau
pendapat kaum Muslimin berkenaan kepentingan kaum muslimin. Berkaitan masalah
ini ada tiga persoalan yang biasa terjadi dalam pemerintahan Islam:
1. Kaum muslimin memilih Amir mereka dari kalangan
mereka sendiri dengan kerelaan mereka. Dalam hal ini tidak diperkenankan
seseorang memerintah dengan cara merampas dari kaum muslimin. Rasulullah saw
bersabda, “ Barang siapa menjadi imam suatu kaum dan mereka tidak suka
kepada keimanannya, maka shalatnya tidak melewati kedua telinganya (tidak sah).”
“Dari Ibnu ‘Abbas
dari Abdurrahman bin ‘Auf berkata, ‘Jika kamu melihat seorang laki-laki hari
ini datang kepada Umar mengatakan Ya Amir Al-mukminin, bagaimana jika si FUlan
mengatakan, ‘ Jika Umar benar-benar telah meninggal dunia, niscaya aku akan
membaiat si Fulan, maka demi Allah tidaklah baiat Abu bakar itu melainkan
tiba-tiba.” Maka umar marah dan berkata, ‘Sesungguhnya aku, jika Allah
menghendaki niscaya aku berdiri menjelang malam di hadapan manusia maka
mengingatkan mereka yang tidak merampas urusan mereka.” (HR. Bukhari &
Muslim)
Dari perkataan Umar tersebut dapat dipahami bahwa ia
memandangn orang yang mengangkat seorang pemimpin dengan tidak meminta pendapat
kaum Muslimin terlebih dahulu sebagai merampas haq kaum Muslimin. Karena
itu kaum muslimin memilih pemimpin mereka berdasarkan kerelaan mereka. Orang-orang
Kafir Dzimmi tidak diikutsertakan dalam pemilihan ini.
2.Kaum muslimin membaiat Amir mereka agar menegakkan Al-Qur’an
dan Sunah ditengah-tengah mereka. Rasulullah saw bersabda, “ Patuhilah dan
taatilah meskipun yang memerintah kamu seorang budak Hasbsyi yang kepalanya
seperti buah zabibah, selama ia menegakkan Qur’an di tengah-tengah kamu.”
3. seorang Amir harus meminta pendapat kaum Muslimin di dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kaum Muslimin dan tidak ada syura bagi sesuatu
yang jelas-jelas ada nash Kitab dan Sunahnya. Tidak ada pendapat kalau Nashnya
sudah jelas. Jika nash didapati, maka hakim dan mahkam harus menepatinya. Tetapi
berkenaan dengan ikatan perjanjian, perang, perdamaian, kemaslahatan,
kemudharatan, keiltizaman dan ketetapan, Allah swt berfirman, “ …. Dan
bermusyarawahlah dengan mereka di dalam urusan. Maka apabila telah
berketetapan, maka bertawakallah kepada Allah … (Qs. 3; 159).
Inti perbedaan terpenting di dalam negara Islam ialah, hawa
nafsu dan kehendak seseorang tidak ada nilainya jika bertentangan dengan
kitabullah dan sunah Rasulullah. Dalam pada itu penduduk nonmuslim tidak perlu
dimintai pendapat bersama kaum muslimin dalam hal memilih Amir. Malah orang-orang
Muslim yang tidak beriltizam dengan Islam juga tidak perlu dimintai pendapat
tentang pemilihan Amir bersama-sama dengan orang-orang yang beriltizam.
Apa yang telah diuraikan tersebut cukup bagi kita dalam
menetapkan karakteristik dan keistimewaan Muslim dan kaum muslimin, satu
keistimewaan yang bersumber dari aqidah, keistimewaan yang mengeluarkan mereka
dari seluruh kebatilan, kesesatan, kebodohan, kekufuran dan kenifakan. Ia istimewa
karena seluruhnya haq, datang dari sisi yang haq di dalam Kitabullah yang haq
dan Sunah Rasulullah yang haq, Allah berfirman, “..Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan Allah yang
kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, bahwa kepada
Allah-lah kembali semua urusan.” (QS. Asy-syuara: 52-53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar