"Islamic Quotes"

Jumat, April 01, 2011

Karakter orang Yang memiliki keteguhan azzam ( Ulul al ‘Azm)


Karakter orang Yang memiliki keteguhan azzam ( Ulul al ‘Azm)

Berikut adalah karakter orang yang memiliki keteguhan azzam (Ulu al ‘Azm):
1.       Tidak bersumpah dengan nama Allah, baik secara tulus maupun dusta, disengaja atau lupa. Karena jika dapat melakukannya maka ia benar-benar akan meninggalkan sumpah secara total, sehingga Allah akan membuka salah sati pintu cahanya-Nya yang dampaknya dapat diraba oleh hatinya dan akan memberinya kemuliaan, keteguhan dan karamah di mata manusia.
2.       Menghindari dusta, baik dalam keadaan main-main maupun serius. Jika ini terus dilakukan maka Allah akan melaoangkan hatinya, ilmunya menjadi jernih dan seluruh perilakunya penuh ketulisan dengan dapaknya yang akan tampak jelas dalam dirinya.
3.       Menepati janji dan berusaha meninggalkan kebiasaan berjanji, karena ia akan lebih menjaganya dari sumpah dan dusta. Jika ini dilakukan maka terbukalah baginya pintu kemurahan dan sikap malu serta disukai oleh orang-orang yang tulus.
4.       Tidak melaknat makhluk apapun dan tidak menyakiti sesuatu sekalipun hanya sebesar atom atau lebih kecil. Ini merupakan akhlak orang-orang baik dan tulus karena dampaknya, ia akan terjaga dari jerat kehancuran, merasa aman dan membangkitkan rasa kasih sayang kepada manusia serta anugerah Allah berupa kedudukan yang tinggi dan kedekatan dengan-Nya.
5.       Tidak mendoakan kehancuran bagi orang lain, sekalipun jika ia menzaliminya maka tidak memutuskan hubungan dengan cara tidak berbicara dengannya dan tidak membalasnya baik dengan ucapan maupun perbuatan. Jika ini mampu dilakukan dan menjadikannya bagian dari etikanya maka kedudukannya dalam pandangan Allah akan semakin tinggi dan akan disukai oleh seluruh makhluk.
6.       Tidak menuduh siapapun di antara Ahl al Qiblah (kaum muslimin) sebagai musyrik atau kafir atau munafik. Sikap ini lebih dekat dengan kasih sayang, lebih dekat dengan akhlak yang sesuai dengan sunnah, lebih menjauhkan diri dari klaim sebagai orang yang berilmu dan lebih dekat dengan keridhaan Allah. Ia merupakan sarana yang sangat mulia yang mendorong seorang hamba untuk mengasihi seluruh makhluk.
7.       Memalingkan pandangan dari maksiat dan menjaga anggota badan darinya karena ia akan mempercepat proses peningkatan diri untuk mencapai maqam yang paling tinggi dan mempermudah kinerja fisik dalam melakukan ketaatan.
8.       Berusaha tidak menggantungkan diri kepada makhluk untuk mencukupi segala kebutuhannya baik kecil maupun besar karena ia merupakan tanda kesempurnaan izzah ahli ibadah dan kemuliaan orang-orang yang bertaqwa. Dengan berbekal sifat ini, dia akan sanggup menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dia merasa cukup dengan pertolongan Allah, yakin dengan pemberian-Nya dan memandang semua manusia memiliki hak yang sama, dan hal ini lebih dekat dengan sifat ikhlas.
9.       Tidak mengharapkan sesuatu dari manusia. Ini merupakan kekayaan yang murni, kehormatan yang paling luhur dan tawakal yang benar. Ia merupakan salah satu pintu zuhud dan sifat wara’ dapat diraih dengannya.
10.    Tawadhu’ (rendah hati) yang akan mengangkat kedudukan seorang hamba. Rendah hati adalah suatu sifat yang merupakan dasar seluruh akhlak. Dengannya manusia dapat mencapai kedudukan orang-orang saleh yang rela dengan seluruh kehendak Allah baik dalam keadaan senang maupun susah, dan itu merupakan tanda kesempurnaan takwa. Pengertian tawadhu’ menurut persepsi Syaikh Abdul Qadir tidak berbeda dengan pengertian yang diterangkan oleh Al-Ghazzali, yaitu: “setiap seorang hamba berjumpa dengan seorang maka ia selalu menganggapnya lebih utama dari dirinya. Jika yang dijumpainya seorang anak kecil maka ia akan mengatakan bahwa anak ini belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku telah melakukan maksiat, maka pasti ia lebih baik dariku. Jika yang dijumpainya orang yang lebih tua maka ia akan mengatakan orang ini telah menyembah Allah sebelumku. Jika yang dijumpainya seorang alim maka ia akan mengatakan bahwa orang ini dianugerahi Allah sesuatu yang belum aku capai, mendapatkan apa yang belum aku dapat dan mengetahui apa yang tidak kuketahui, apalagi ia mengamalkan ilmunya. Jika yang ditemuinya seorang jahil maka ia akan mengatakan bahwa orang ini melakukan maksiat karena tidak tahu sedangkan aku bermaksiat padahal aku tahu, aku tidak tahu bagaimana akhir perjalanan hidupku dan akhir perjalanan hidupnya. Jika yang ditemuinya seorang kafir maka dia akan mengatakan aku tidak tahu, bisa jadi orang ini akan masuk islam sehingga mengakhir usianya dengan perbuatan baik, sedangkan aku bisa jadi berubah menjadi kafir sehingga mengakhiri hidup dengan keburukan. Semua ini merupakan pintu menuju sikap mengasihi dan malu”.

*Di nukil dari Kitab Al-Hidayah Karya Al-Ghazali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar