Karakter orang Yang memiliki keteguhan
azzam ( Ulul al ‘Azm)
Berikut adalah karakter orang yang memiliki keteguhan azzam
(Ulu al ‘Azm):
1.
Tidak bersumpah dengan nama Allah, baik secara tulus maupun dusta,
disengaja atau lupa. Karena jika dapat melakukannya maka ia benar-benar akan
meninggalkan sumpah secara total, sehingga Allah akan membuka salah sati pintu
cahanya-Nya yang dampaknya dapat diraba oleh hatinya dan akan memberinya
kemuliaan, keteguhan dan karamah di mata manusia.
2.
Menghindari dusta, baik dalam keadaan main-main maupun serius. Jika ini
terus dilakukan maka Allah akan melaoangkan hatinya, ilmunya menjadi jernih dan
seluruh perilakunya penuh ketulisan dengan dapaknya yang akan tampak jelas
dalam dirinya.
3.
Menepati janji dan berusaha meninggalkan kebiasaan berjanji, karena ia
akan lebih menjaganya dari sumpah dan dusta. Jika ini dilakukan maka terbukalah
baginya pintu kemurahan dan sikap malu serta disukai oleh orang-orang yang tulus.
4.
Tidak melaknat makhluk apapun dan tidak menyakiti sesuatu sekalipun hanya
sebesar atom atau lebih kecil. Ini merupakan akhlak orang-orang baik dan tulus
karena dampaknya, ia akan terjaga dari jerat kehancuran, merasa aman dan
membangkitkan rasa kasih sayang kepada manusia serta anugerah Allah berupa
kedudukan yang tinggi dan kedekatan dengan-Nya.
5.
Tidak mendoakan kehancuran bagi orang lain, sekalipun jika ia menzaliminya
maka tidak memutuskan hubungan dengan cara tidak berbicara dengannya dan tidak
membalasnya baik dengan ucapan maupun perbuatan. Jika ini mampu dilakukan dan
menjadikannya bagian dari etikanya maka kedudukannya dalam pandangan Allah akan
semakin tinggi dan akan disukai oleh seluruh makhluk.
6.
Tidak menuduh siapapun di antara Ahl al Qiblah (kaum muslimin)
sebagai musyrik atau kafir atau munafik. Sikap ini lebih dekat dengan kasih
sayang, lebih dekat dengan akhlak yang sesuai dengan sunnah, lebih menjauhkan
diri dari klaim sebagai orang yang berilmu dan lebih dekat dengan keridhaan
Allah. Ia merupakan sarana yang sangat mulia yang mendorong seorang hamba untuk
mengasihi seluruh makhluk.
7.
Memalingkan pandangan dari maksiat dan menjaga anggota badan darinya
karena ia akan mempercepat proses peningkatan diri untuk mencapai maqam yang
paling tinggi dan mempermudah kinerja fisik dalam melakukan ketaatan.
8.
Berusaha tidak menggantungkan diri kepada makhluk untuk mencukupi segala
kebutuhannya baik kecil maupun besar karena ia merupakan tanda kesempurnaan
izzah ahli ibadah dan kemuliaan orang-orang yang bertaqwa. Dengan berbekal
sifat ini, dia akan sanggup menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dia
merasa cukup dengan pertolongan Allah, yakin dengan pemberian-Nya dan memandang
semua manusia memiliki hak yang sama, dan hal ini lebih dekat dengan sifat
ikhlas.
9.
Tidak mengharapkan sesuatu dari manusia. Ini merupakan kekayaan yang
murni, kehormatan yang paling luhur dan tawakal yang benar. Ia merupakan salah
satu pintu zuhud dan sifat wara’ dapat diraih dengannya.
10.
Tawadhu’ (rendah hati) yang akan mengangkat kedudukan seorang hamba. Rendah
hati adalah suatu sifat yang merupakan dasar seluruh akhlak. Dengannya manusia
dapat mencapai kedudukan orang-orang saleh yang rela dengan seluruh kehendak
Allah baik dalam keadaan senang maupun susah, dan itu merupakan tanda
kesempurnaan takwa. Pengertian tawadhu’ menurut persepsi Syaikh Abdul Qadir
tidak berbeda dengan pengertian yang diterangkan oleh Al-Ghazzali, yaitu: “setiap
seorang hamba berjumpa dengan seorang maka ia selalu menganggapnya lebih utama
dari dirinya. Jika yang dijumpainya seorang anak kecil maka ia akan mengatakan
bahwa anak ini belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku telah melakukan
maksiat, maka pasti ia lebih baik dariku. Jika yang dijumpainya orang yang
lebih tua maka ia akan mengatakan orang ini telah menyembah Allah sebelumku. Jika
yang dijumpainya seorang alim maka ia akan mengatakan bahwa orang ini
dianugerahi Allah sesuatu yang belum aku capai, mendapatkan apa yang belum aku
dapat dan mengetahui apa yang tidak kuketahui, apalagi ia mengamalkan ilmunya. Jika
yang ditemuinya seorang jahil maka ia akan mengatakan bahwa orang ini melakukan
maksiat karena tidak tahu sedangkan aku bermaksiat padahal aku tahu, aku tidak
tahu bagaimana akhir perjalanan hidupku dan akhir perjalanan hidupnya. Jika yang
ditemuinya seorang kafir maka dia akan mengatakan aku tidak tahu, bisa jadi
orang ini akan masuk islam sehingga mengakhir usianya dengan perbuatan baik,
sedangkan aku bisa jadi berubah menjadi kafir sehingga mengakhiri hidup dengan
keburukan. Semua ini merupakan pintu menuju sikap mengasihi dan malu”.
*Di nukil dari Kitab Al-Hidayah Karya Al-Ghazali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar