Suatu saat
Yunus bin Abdul A’la seorang faqih Mesir terlibat perdebatan dengan Imam
As-Syafi’i. Namun tidak seperti biasanya yang terjadi pada mereka yang terlibat
perdebatan. Yunus tidak marah, bahkan beliau amat terkesan dengan sikap Imam
As-Syafi’I, hingga beliau mengatakan, ‘Aku
tidak melihat orang berakal melebihi As-Syafi’I, aku mendebatnya tentang suatu
masalah pada suatu hari, kemudian kami berpisah, lalu dia menemuiku, dan
menggandeng tanganku, lalu berkata kepadaku: “Wahau Abu Musa, bukankah lebih
baik kita tetap berteman walau kita tidak sepakat dalam satu masalah?”
Mengenai
sifat mulia Imam As-Syafi’I dalam perdebatan Abu Utsman, putra beliau juga
pernah mengatakan: “Aku sekali-kali tidak
pernah mendengar ayahku mendebat seseorang dengan meninggikan suaranya.”
(Tahdzib Al- ASma’ wa Al-Lughat, 1/66)
Bahkan
Ahmad bin Khalid bin KHalal juga pernah mendengar sendiri bahwa Imam As-Syafi’I
mengatakan, “Ketika aku mendebat
seseorang aku tidak menginginkan dia jatuh kepada kesalahan.” (Tawali
At-Ta’sis, Hal 65)
As-Syafi’I juga
berkata, “Aku berdebat tidak untuk
menjatuhkan orang.” (Tahdzib Al-ASma wa Al-Lughat, 1/66)
Demikianlah
ulama besar jika berdebat, tidak ada dampak negatif dari perdebatan itu, karena
mereka berdebat untuk mencari kebenaran, bukan untuk merendahkan, mencari atau
mempertahankan pengikut. Mereka tidak berdebat agar dipandang alim (pandai),
serta karena tujuan duniawi lainnya. Sehingga, perdebatannnya tetap dalam
koridor adab dan akhlak.
Imam
Al-Ghazali sendiri mengumpamakan bahwa orang yang berdebat seperti orang
mencari barang yang hilang. Ia tidak membeda-bedakan apakah barang itu ia
temukan sendiri atau ditemukan orang lain yang membantunya. Ia melihat lawan
debatnya sebagai partner, bukan musuh. Ia mestinya berterima kasih jika lawan
debatnya menunjukkan kepadanya kesalahannya, seperti seseorang yang menempuh
suatu jalan untuk mencari barangnya yang hilang, namun ada orang lain yang
memberi tahu bahwa ia harus menempuh jalan lain untuk mendapatkan barangnya.
Perdebatan
yang demikianlah yang ditempuh para sahabat, tabi’in dan para imam besar
terdahulu. Umar bin Al-Khatab ra sendiri ketika diingatkan oleh seorang wanita,
saat beliau berkhutbah di hadapan khalayak pun menyatakan jujur ketika melihat
bahwa yang dikatakan wanita itu benar,” Umar
salah, wanita ini benar!”. Demikian pula Ali ra menjawab pertanyaan seorang
laki-laki, kemudian ada yang mengkritik beliau, “tidak demikian wahai Amirul Mukminin, namun demikian-demikian.”
Maka beliau mengatakan, “Anda benar, saya
salah.” Sebagaimana juga para sahabat juga bermusyawarah mengenai hadd bagi peminum khamr dan beberapa
masalah dalam faraidh.
Adapun
perdebatan orang-orang setelah masa para imam
berlalu sudah berubah. Imam Al-Ghazali sendiri mengkritik keras
orang-orang sezaman dengan beliau yang melakukan perdebatan bukan sebagai
bentuk kerja sama dalam mencari kebenaran dengan penuh keheranan, “LIhatlah para pendebat di zaman kalian
ini, bagaimana wajah mereka berubah
gelap, jika nampak al-haq di lisan lawannya, sebagaimana juga emosi mereka
meluap, lantas berpayah-payah dengan seluruh kemampuan untuk menentangnya.
Bagaimana ia mencela pendebatnya seumur hidupnya, kemudian dia tidak malu
dengan menyerupakan diri sebagai sahabat dalam sharing untuk mencari
kebenaran?” (Al-Ihya, 1/74)
Debat
demikianlah yang menghancurkan umat islam sendiri, sebagaimana disebutkan dalam
sebuah hadist, “Tidak ada kaum yang
tersesat dari hidayah yang mereka ada di dalamnya, kecuali didatangkan kepada
mereka perdebatan.” (HR Tirmidzi, Hadist Hasan Shahih).
Luruskan Niat
Perdebatan
yang bertujuan untuk merendahkan pihak lain, atau menonjolkan diri sendiri
serta mencari dunia, merupakan sumber timbulnya banyak maksiat. Imam Al-Ghazali
menyebutkan beberapa penyakit yang menyerang mereka yang mencampakkan diri
dalam aktifitas ini:
1.
Hasad (iri).
Pendebat
terkadang menang atau kalah. Kadang ada yang memujinya, dan kadang pujian itu
diberikan untuk lawannya. Kondisi semacam ini bisa menimbulkan rasa hasad pada
hatinya, menginginkan agar lawannya kehilangan nikmat, termasuk ilmu,
kesempatan atau lainnya.
2.
Takabur dan RIya’
Mereka
yang suka berdebat dengan tujuan menonjolkan diri akan terjangkit penyakit
takabur. Ia akan berusaha merendahkan lawan debatnya, dan meninggikan dirinya
sendiri di hadapan orang lain. Kadang ia memberikan pernyataan bahwa lawannya
bodoh, tidak paham atau memiliki sedikit ilmu. Disamping itu, penyakit riya’
juga sering menjangkiti mereka, karena ingin menampakkan apa yang ia rasa
sebagai kelebihan kepada manusia.
3.
Memuji diri sendiri
Pendebat
sering kali menyanjung dirinya sendiri di saat berdebat. Kadang ia mengatakan, “Saya menguasai ilmu ini”, “Saya hafal hadist ini”, Hal itu
dilakukan untuk mempromosikan apa yang ia sampaikan.
4.
Tajassus (mencari-cari aib).
Mencari-cari
“aurat” manusia seringkali dilakukan pendebat
terhadap lawannya. Terkadang ia mencari informasi sampai ke negeri dimana
lawannya tinggal, untuk mencari hal-hal buruk darinya, yang ia simpan
pengetahuan itu untuk dijadikan bekal menjatuhkannya.
5.
Ghibah
Yang
kadang tidak bisa dihindarkan dari pendebat yang didasari niat yang salah
adalah menceritakan dan menyebarkan kelemahan dan kekurangan lawannya kepada
pihak lain, setelah ia melakukan perdebatan dengan seseorang.
6.
Nifaq
Yang
dimaksud di sini adalah perbuatan dhahir
pendebat yang bertentangan dengan apa yang ada di dalam hati. Pendebat biasanya
basa-basi, memperlihatkan keramahan dan kegembiraan jika bertemu dengan
lawannya, namun sejatinya dalam hatinya terbersit kebencian yang cukup besar.
Jika
demikian, dampak buruk dari perdebatan yang ditimbulkan akibat salah niat maka
hendaknya seseorang mempertanyakan kembali niatnya. Ketika ia memutuskan untuk
berdebat –baik dengan lisan maupun tulisan-hendaknya meluruskan niatnya,
sehingga terhindar dari penyakit-penyakit hati yang cukup membahayakan dirinya
sendiri.
*Tjoriq/ Suara Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar