"Islamic Quotes"

Kamis, Juni 30, 2011

Mendebat bukan untuk menjatuhkan


Suatu saat Yunus bin Abdul A’la seorang faqih Mesir terlibat perdebatan dengan Imam As-Syafi’i. Namun tidak seperti biasanya yang terjadi pada mereka yang terlibat perdebatan. Yunus tidak marah, bahkan beliau amat terkesan dengan sikap Imam As-Syafi’I, hingga beliau mengatakan, ‘Aku tidak melihat orang berakal melebihi As-Syafi’I, aku mendebatnya tentang suatu masalah pada suatu hari, kemudian kami berpisah, lalu dia menemuiku, dan menggandeng tanganku, lalu berkata kepadaku: “Wahau Abu Musa, bukankah lebih baik kita tetap berteman walau kita tidak sepakat dalam satu masalah?”


Mengenai sifat mulia Imam As-Syafi’I dalam perdebatan Abu Utsman, putra beliau juga pernah mengatakan: “Aku sekali-kali tidak pernah mendengar ayahku mendebat seseorang dengan meninggikan suaranya.” (Tahdzib Al- ASma’ wa Al-Lughat, 1/66)

Bahkan Ahmad bin Khalid bin KHalal juga pernah mendengar sendiri bahwa Imam As-Syafi’I mengatakan, “Ketika aku mendebat seseorang aku tidak menginginkan dia jatuh kepada kesalahan.” (Tawali At-Ta’sis, Hal 65)

As-Syafi’I juga berkata, “Aku berdebat tidak untuk menjatuhkan orang.” (Tahdzib Al-ASma wa Al-Lughat, 1/66)

Demikianlah ulama besar jika berdebat, tidak ada dampak negatif dari perdebatan itu, karena mereka berdebat untuk mencari kebenaran, bukan untuk merendahkan, mencari atau mempertahankan pengikut. Mereka tidak berdebat agar dipandang alim (pandai), serta karena tujuan duniawi lainnya. Sehingga, perdebatannnya tetap dalam koridor adab dan akhlak.

Imam Al-Ghazali sendiri mengumpamakan bahwa orang yang berdebat seperti orang mencari barang yang hilang. Ia tidak membeda-bedakan apakah barang itu ia temukan sendiri atau ditemukan orang lain yang membantunya. Ia melihat lawan debatnya sebagai partner, bukan musuh. Ia mestinya berterima kasih jika lawan debatnya menunjukkan kepadanya kesalahannya, seperti seseorang yang menempuh suatu jalan untuk mencari barangnya yang hilang, namun ada orang lain yang memberi tahu bahwa ia harus menempuh jalan lain untuk mendapatkan barangnya.

Perdebatan yang demikianlah yang ditempuh para sahabat, tabi’in dan para imam besar terdahulu. Umar bin Al-Khatab ra sendiri ketika diingatkan oleh seorang wanita, saat beliau berkhutbah di hadapan khalayak pun menyatakan jujur ketika melihat bahwa yang dikatakan wanita itu benar,” Umar salah, wanita ini benar!”. Demikian pula Ali ra menjawab pertanyaan seorang laki-laki, kemudian ada yang mengkritik beliau, “tidak demikian wahai Amirul Mukminin, namun demikian-demikian.” Maka beliau mengatakan, “Anda benar, saya salah.” Sebagaimana juga para sahabat juga bermusyawarah mengenai hadd bagi peminum khamr dan beberapa masalah dalam faraidh.

Adapun perdebatan orang-orang setelah masa para imam  berlalu sudah berubah. Imam Al-Ghazali sendiri mengkritik keras orang-orang sezaman dengan beliau yang melakukan perdebatan bukan sebagai bentuk kerja sama dalam mencari kebenaran dengan penuh keheranan, “LIhatlah para pendebat di zaman kalian ini, bagaimana wajah mereka berubah  gelap, jika nampak al-haq di lisan lawannya, sebagaimana juga emosi mereka meluap, lantas berpayah-payah dengan seluruh kemampuan untuk menentangnya. Bagaimana ia mencela pendebatnya seumur hidupnya, kemudian dia tidak malu dengan menyerupakan diri sebagai sahabat dalam sharing untuk mencari kebenaran?” (Al-Ihya, 1/74)

Debat demikianlah yang menghancurkan umat islam sendiri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist, “Tidak ada kaum yang tersesat dari hidayah yang mereka ada di dalamnya, kecuali didatangkan kepada mereka perdebatan.” (HR Tirmidzi, Hadist Hasan Shahih).

Luruskan Niat
Perdebatan yang bertujuan untuk merendahkan pihak lain, atau menonjolkan diri sendiri serta mencari dunia, merupakan sumber timbulnya banyak maksiat. Imam Al-Ghazali menyebutkan beberapa penyakit yang menyerang mereka yang mencampakkan diri dalam aktifitas ini:
1.       Hasad (iri).
Pendebat terkadang menang atau kalah. Kadang ada yang memujinya, dan kadang pujian itu diberikan untuk lawannya. Kondisi semacam ini bisa menimbulkan rasa hasad pada hatinya, menginginkan agar lawannya kehilangan nikmat, termasuk ilmu, kesempatan atau lainnya.
2.       Takabur dan RIya’
Mereka yang suka berdebat dengan tujuan menonjolkan diri akan terjangkit penyakit takabur. Ia akan berusaha merendahkan lawan debatnya, dan meninggikan dirinya sendiri di hadapan orang lain. Kadang ia memberikan pernyataan bahwa lawannya bodoh, tidak paham atau memiliki sedikit ilmu. Disamping itu, penyakit riya’ juga sering menjangkiti mereka, karena ingin menampakkan apa yang ia rasa sebagai kelebihan kepada manusia.
3.       Memuji diri sendiri
Pendebat sering kali menyanjung dirinya sendiri di saat berdebat. Kadang ia mengatakan, “Saya menguasai ilmu ini”, “Saya hafal hadist ini”, Hal itu dilakukan untuk mempromosikan apa yang ia sampaikan.
4.       Tajassus (mencari-cari aib).
Mencari-cari “aurat” manusia seringkali dilakukan pendebat terhadap lawannya. Terkadang ia mencari informasi sampai ke negeri dimana lawannya tinggal, untuk mencari hal-hal buruk darinya, yang ia simpan pengetahuan itu untuk dijadikan bekal menjatuhkannya.
5.       Ghibah
Yang kadang tidak bisa dihindarkan dari pendebat yang didasari niat yang salah adalah menceritakan dan menyebarkan kelemahan dan kekurangan lawannya kepada pihak lain, setelah ia melakukan perdebatan dengan seseorang.
6.       Nifaq
Yang dimaksud di sini adalah perbuatan dhahir pendebat yang bertentangan dengan apa yang ada di dalam hati. Pendebat biasanya basa-basi, memperlihatkan keramahan dan kegembiraan jika bertemu dengan lawannya, namun sejatinya dalam hatinya terbersit kebencian yang cukup besar.

Jika demikian, dampak buruk dari perdebatan yang ditimbulkan akibat salah niat maka hendaknya seseorang mempertanyakan kembali niatnya. Ketika ia memutuskan untuk berdebat –baik dengan lisan maupun tulisan-hendaknya meluruskan niatnya, sehingga terhindar dari penyakit-penyakit hati yang cukup membahayakan dirinya sendiri.

*Tjoriq/ Suara Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar