"Islamic Quotes"

Minggu, Maret 06, 2011

- Confession -


22.30
Seharusnya saat ini saya  mengisi data yang diamanahkan kepada saya. Tapi pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan membuat kepala saya yang memang sudah berat semakin berat saja.
Akhirnya saya putuskan untuk menulis celotehan saja.

Baiklah… kita mulai celotehan ini dari tanggal 26 Februari 2010 tahun lalu. Pada tanggal tersebut saya berdiskusi dengan seorang teman. Sebenarnya niat saya berdiskusi bukan untuk menghakimi “kekeliruan” yang telah dibuatnya. Niat saya hanya ingin menyampaikan bahwa pengawalan terhadap perkembangan jiwa itu menjadi prioritas utama, pengawalan terhadap perkembangan akal itu penting tapi bukan yang utama, jiwalah yang utama. Setelah panjang lebar berdiskusi akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan, yaitu, “kami sepakat untuk tidak sepakat dengan argument masing-masing”.


Nah, yang membuat saya kaget adalah teman saya itu menonaktifkan akun FB nya. Kenapa?? Dalam benak saya bertanya seperti itu. Perasaan bersalah mulai muncul dalam pikiran saya, dan berbagai pertanyaan mulai bersliweran dalam benak saya, “apakah gara-gara saya mengingatkan dia?’ “apakah dia tersinggung?, dsb… dsb…
karena memang kekeliruan yang dilakukannya tersebut saya temukan di akun FB nya tanpa sengaja. Karena perasaan bersalah lah maka saya sms dia, menanyakan kenapa akun fb nya di nonaktifkan. Jawabannya sederhana: “saya ingin fokus ke studi”.

Heemm.. memang tak layak jika dalam hati saya berucap, “benarkah”??
Tapi pada dasarnya setiap alasan pasti akan bisa diterima, bukan..?

Haripun berjalan,,, bulan demi bulan mulai berlalu (lebay euy).
Teman saya ini kebetulan dulunya sama gerakan dengan saya, sebut saja gerakan “Y” nah sekarang dia berpindah ke gerakan “X”.  Dulu….Diskusi-diskusi sebenarnya bukan diskusi sih, beberapa kali dia mengirimkan email yang berisi artikel kepada saya kadang saya balas kadang tidak, ini mulai dilakukan ketika dia pindah ke gerakan X.  Saya menangkap semangat yang luar biasa ketika dia pindah, mungkin dia menemukan oase yang selama ini dicarinya. Entah…

Saya ingat diskusi-diskusi kami berakhir pada tanggal 26 Februari tersebut. Tapi teman-temannya dari gerakan X mulai banyak berdiskusi dengan saya.
Sebenarnya saya suka berdiskusi. Sangat senang malahan, tapi saya gak terlalu suka berdiskusi dengan orang-orang yang beranggapan bahwa mereka “paling benar”. Karena berhadapan dengan orang-orang seperti ini hanya menyebabkan kelelahan, berapa kalipun kita paparkan argumen, mereka akan selalu membantahnya. Bukan berusaha memahami untuk menemukan titik temu, tapi akan membantah dan memperlihatkan dengan jelas bahwa, “hey kamu salah dan aku yang benar”.
Saya berpendapat bahwa diskusi seperti ini useless… atau tidak bermanfaat. Apalagi jika diskusinya disertai dengan akhlak yang kurang baik.

Saya mulai gerah dengan “kejaran-kejaran” mereka, membuat saya benar-benar merasa ilfeel buanget. Akhirnya saya meminta kepada teman saya untuk mengatakan kepada teman-temannya di gerakan X untuk berhenti mendekati saya. Alhamdulillah berhasil.

Jujur, saya pernah tertarik dengan gerakan X ini, karena karakter saya yang suka berdiskusi, membaca dan sangat tertarik dengan sosial politik dan kebangkitan islam. Saya pernah merasa bahwa gerakan X ini benar-benar menerapkan teori dan strategi dari organisasi external kampus yang saya ikuti. Tradisi intelektual dan ilmiah, dimulai dari pembangunan budaya membaca, berdiskusi dan menelaah ayat-ayat al-qur’an dan mencoba mencari solusi atas persoalan yang dihadapi bangsa dengan metode fikir islami. Setidaknya saya mendapatkan gambaran bagaimana metode tersebut. Metode yang menjadi cita-cita saya untuk saya terapkan di organisasi ekternal kampus saya yang hingga sekarang tertatih-tatih saya membangunnya.

Tapi entah kenapa, walaupun kecenderungan saya cukup besar kepada gerakan X ini, saya tetap tidak pindah ke gerakan X. Semakin banyak saya berinteraksi dengan pelaku-pelaku gerakan X, maka semakin saya menjauh. Semakin saya berdiskusi, berdialog dengan pemikiran-pemikiran mereka, semakin saya tidak yakin.  Dulu saya dan teman saya yang lain pernah punya keinginan untuk berkecimpung di dua gerakan ini “gerakan Y” dan gerakan “X”. Karena yang satu memenuhi kebutuhan ruhani saya, sementara yang satu memenuhi kebutukan akal saya. Tapi tetap saja saya tidak melakukannya. Sayapun menjadi heran dengan diri saya sendiri. Kenapa?
Dalam benak saya, saya masih bertanya kenapa saya tidak pindah??, kenapa saya tidak mengikuti kedua gerakan tersebut saja??.

Ada banyak alasan sebenarnya yang mungkin menjadikan saya tidak pindah, diantaranya, pemikiran mereka bagus, tapi saya melihat keanehan pada pemikiran mereka. Mereka menyalahkan sebuah sistem, tapi memberikan solusi tidak begitu jelas dan rinci, akhirnya mereka hanya “menyeru” untuk pindah ke sistem yang lebih baik, tapi tidak berusaha “membuktikan” (yang bukan hanya sekedar argumen)  kebaikan dari sistem tersebut. Kedua, mereka berdiskusi hanya mengandalkan artikel-artikel andalan mereka. Mengapa saya katakan andalan, karena ketika kita bertanya ataupun berdiskusi mereka selalu mengambil artikel dari “website” mereka ataupun teman mereka, sehingga saya tidak melihat ada sebuah pembangunan arus berfikir ataupun pembangunan kemampuan berfikir kritis. Mereka hanya melakukan dogmanisasi ataupun semacam “pencucian otak”. That’s it. Kebetulan saya bukanlah orang yang bisa didogma, saya termasuk orang yang akan menelaah apa yang didapat, dibaca dan didengar. Saya tidak akan menjudge, menyimpulkan jika saya tidak mempunyai data ataupun argumen yang jelas dan diikuti dengan pemikiran yang mendalam.
Tapi, saya fikir itu bukan satu-satunya alasan saya untuk tidak bergabung di gerakan X.

Selain itu, saya pernah mengirimkan artikel kepada beberapa teman saya di gerakan X, tentang “Membangun Ukhuwah Harakiyah”. Jujur, saya berharap mendapatkan tanggapan positiflah dari mereka, saya ingin melihat ada I’tikad baik dari mereka untuk mewujudkan wihdatul ummah (kesatuan ummah). Alangkah kecewanya saya ketika teman saya itu menolak dengan cara halus sih, tapi yang membuat saya jengkel adalah mereka sembarangan menggunakan dalil dan ilmu fikih mereka hanya untuk mendapatkan penguatan argumen mereka agar tidak terwujud ukhuwah harakiyah. Tapi saya tahu memang begitulah jadinya jika yang dikembangkan hanya fungsi akal saja. Jujur saya berharap mereka menanggapi dengan tanggapan positif, ya minimal sebuah kalimat, “Ya, ayo kita bangun ukhuwah harakiyah, kamu punya solusi??

Itu membuat daftar saya semakin panjang untuk tidak bergabung di gerakan X. Di benak saya masih bertanya, kenapa??

Dan ternyata… saya mendapatkan jawabannya baru-baru ini, lewat sebuah buku yang berjudul, “Dalam Dekapan Ukhuwah” yang ditulis oleh Salim A. Fillah. Hanya dengan beberapa kalimat tapi dengan pemaknaan yang mendalam kutemukan jawaban mengapa, simaklah kalimat-kalimat ini:
“sebab pikiran punya jalan nalarnya masing-masing.
Maka terkadang mereka bertemu atau berpapasan.
Sesekali bersilangan, berhimpitan bahkan bertabrakan.
Syukurlah kita punya ruh-ruh yang diakrabkan oleh iman.”

Dan juga kalimat yang begitu menjawab pertanyaan kenapaku:
“Jiwa tak bisa takluk oleh Hujjah. Yang bisa takluk oleh Hujjah hanya akal. Yang bisa tunduk pada dalil hanya otak.  Bukan jiwa. Bukan hati. Padahal Allah sudah menggariskan bahwa perubahan suatu kaum dimulai dari perubahan jiwa.”

Ketika membaca kalimat-kalimat diatas, sayapun langsung berucap hamdalah. Karena Allah telah menjawab pertanyaan “kenapa” saya. Saya tahu kenapa saya tidak bergabung disana, karena disana tidak membangun jiwa saya, gerakan itu nantinya hanya akan membangun akal saya.
Dan ketika baru-baru bergabung di dunia gerakan dakwah ini, saya pernah merasakan bagaimana keadaan saya ketika saya hanya membangun akal saya. Ya, harus saya akui dulu akhlaknya saya tidak begitu baik. Memang benar perdebatan memancing hawa nafsu, nafsu untuk menang, nafsu untuk mengalahkan dan mematahkan argumen, dan juga perdebatan menjadikan kita bisa “menghalalkan segala cara” untuk berhasil memenangkan argumen. Itulah yang menjadi alasan utama saya tidak bergabung di gerakan X, apalagi saya melihat bukti dari para pelaku gerakan X itu sendiri.

Jiwa saya sudah terbangun dengan mengikuti proses tarbiyah selama ini, saya belajar dan berusaha untuk tidak hanya berfikir dengan otak saya, yang kemampuannya sangat terbatas, tapi saya belajar untuk berfikir dengan hati saya. Bukan merasa, karena perasaan bukan fungsi hati sebenarnya, perasaan hanya merupakan salah satu bagian dari fungsi hati kita. Fungsi hati adalah untuk berfikir lebih mendalam tidak hanya sebatas surface yang hanya bisa dilakukan oleh otak kita, karena otak kita hanya bisa berfikir jika ada data dan informasi yang nyata. Sementara ada banyak hal yang harus direnungi secara mendalam. sebagaimana bunyi sebuah hadist bahwa “hati adalah raja”.


Entah ya…
Saya merasa teman saya itu terluka. Mungkin terluka karena kata-kata saya yang mengungkap “kekeliruan” dia, atau kah apa?? saya tidak tahu. Ini hanya sebuah sangkaan. Karena saya heran kenapa teman saya itu tidak mengaktifkan kembali akun fb nya padahal dia sudah menyelesaikan studinya. Jujur ini membuat saya merasa bersalah, “apakah dia merasa saya mata-matai”?.
Wah… saya bukan termasuk orang yang suka mematai-matai, tapi saya suka mengamati. Yup,… saya heran dan kembali pertanyaan “benarkah” itu muncul lagi ketika teman saya mengatakan bahwa dia akan fokus kepada studi.

Kata teman saya yang lain, saya mempunyai bakat intelijen, mendengarnya saya tergelak tertawa. Padahal kadang saya mendapatkan informasi tanpa sengaja. Yup, benar…
Ketidaksengajaan yang paling banyak membuat saya mendapatkan informasi dan sayapun mulai merunutnya dan akhirnya mendapatkan sebuah hipotesa. setelah itu saya akan menguji hipotesa tersebut.

Jujur, secara tidak sengaja, saya menemukan bahwa teman saya itu mempunyai akun FB. Tapi akun itu hanya untuk orang-orang terbatas. Mungkin keluarganya??, tapi mungkinkah sebuah keluarga bisa sebanyak itu?? who knows??
Saya mendapatkan informasi bukan lewat penyelidikan, tapi lewat ketidaksengajaan. Mungkin ini yang dinamakan insting/ intuisi. karena beberapa kali juga saya menemukan "kekeliruan" yang sejenis dengan teman saya yang lain.

Entahlah…

Tapi mengetahui itu membuat saya heran, dan tidak enak hati. Pertanyaan kenapa itu muncul kembali di benak saya. Kenapa??
Apakah dia terluka??
Kalau dia terluka maka saya merasa bersalah…
Karena saya tahu teman saya itu teman yang sangat baik, hampir tidak pernah “menolak” sebuah permintaan tolong. Ya, saya merasa tidak enak hati jika dia merasa sulit untuk kembali berhubungan dengan teman-temannya karena insiden kekeliruan tersebut. Saya tidak enak hati karena membuat dia berhenti berhubungan dengan teman-teman lamanya.

Ya, seperti judul tulisan ini: “Confession” = pengakuan.
Saya hanya ingin berucap, “maafkan saya teman”. Jika saya tahu akan begini jadinya, maka saya akan memilih untuk tidak mengingatkanmu.

Karena ketika saya membaca buku “Dalam Dekapan Ukhuwah” saya memahami bagaimana perasaanmu, kekhawatiranmu. Dan bagaimana luka itu.

@penghujung malam
Ditengah data-data yang membuat mataku menjadi mengantuk….




Tidak ada komentar:

Posting Komentar