22.30
Seharusnya
saat ini saya mengisi data yang
diamanahkan kepada saya. Tapi pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan membuat
kepala saya yang memang sudah berat semakin berat saja.
Akhirnya saya
putuskan untuk menulis celotehan saja.
Baiklah…
kita mulai celotehan ini dari tanggal 26 Februari 2010 tahun lalu. Pada tanggal
tersebut saya berdiskusi dengan seorang teman. Sebenarnya niat saya berdiskusi bukan
untuk menghakimi “kekeliruan” yang telah dibuatnya. Niat saya hanya ingin
menyampaikan bahwa pengawalan terhadap perkembangan jiwa itu menjadi prioritas
utama, pengawalan terhadap perkembangan akal itu penting tapi bukan yang utama,
jiwalah yang utama. Setelah panjang lebar berdiskusi akhirnya saya sampai pada
sebuah kesimpulan, yaitu, “kami sepakat untuk tidak sepakat dengan argument masing-masing”.
Nah, yang
membuat saya kaget adalah teman saya itu menonaktifkan akun FB nya. Kenapa?? Dalam
benak saya bertanya seperti itu. Perasaan bersalah mulai muncul dalam pikiran
saya, dan berbagai pertanyaan mulai bersliweran dalam benak saya, “apakah gara-gara saya mengingatkan dia?’ “apakah dia tersinggung?, dsb… dsb…
karena
memang kekeliruan yang dilakukannya tersebut saya temukan di akun FB nya tanpa
sengaja. Karena perasaan bersalah lah maka saya sms dia,
menanyakan kenapa akun fb nya di nonaktifkan. Jawabannya sederhana: “saya ingin
fokus ke studi”.
Heemm.. memang tak layak jika dalam
hati saya berucap, “benarkah”??
Tapi pada dasarnya setiap alasan pasti
akan bisa diterima, bukan..?
Haripun berjalan,,, bulan demi bulan
mulai berlalu (lebay euy).
Teman saya ini kebetulan dulunya sama
gerakan dengan saya, sebut saja gerakan “Y” nah sekarang dia berpindah ke
gerakan “X”. Dulu….Diskusi-diskusi
sebenarnya bukan diskusi sih, beberapa kali dia mengirimkan email yang berisi
artikel kepada saya kadang saya balas kadang tidak, ini mulai dilakukan ketika
dia pindah ke gerakan X. Saya menangkap
semangat yang luar biasa ketika dia pindah, mungkin dia menemukan oase yang
selama ini dicarinya. Entah…
Saya ingat diskusi-diskusi kami
berakhir pada tanggal 26 Februari tersebut. Tapi teman-temannya dari gerakan X
mulai banyak berdiskusi dengan saya.
Sebenarnya saya suka berdiskusi. Sangat
senang malahan, tapi saya gak terlalu suka berdiskusi dengan orang-orang yang
beranggapan bahwa mereka “paling benar”. Karena berhadapan dengan orang-orang
seperti ini hanya menyebabkan kelelahan, berapa kalipun kita paparkan argumen,
mereka akan selalu membantahnya. Bukan berusaha memahami untuk menemukan titik
temu, tapi akan membantah dan memperlihatkan dengan jelas bahwa, “hey kamu
salah dan aku yang benar”.
Saya berpendapat bahwa diskusi seperti
ini useless… atau tidak bermanfaat. Apalagi jika diskusinya disertai dengan
akhlak yang kurang baik.
Saya mulai gerah dengan “kejaran-kejaran”
mereka, membuat saya benar-benar merasa ilfeel buanget. Akhirnya saya meminta kepada
teman saya untuk mengatakan kepada teman-temannya di gerakan X untuk berhenti
mendekati saya. Alhamdulillah berhasil.
Jujur, saya pernah tertarik dengan
gerakan X ini, karena karakter saya yang suka berdiskusi, membaca dan sangat
tertarik dengan sosial politik dan kebangkitan islam. Saya pernah merasa bahwa
gerakan X ini benar-benar menerapkan teori dan strategi dari organisasi
external kampus yang saya ikuti. Tradisi intelektual dan ilmiah, dimulai dari
pembangunan budaya membaca, berdiskusi dan menelaah ayat-ayat al-qur’an dan
mencoba mencari solusi atas persoalan yang dihadapi bangsa dengan metode fikir
islami. Setidaknya saya mendapatkan gambaran bagaimana metode tersebut. Metode yang
menjadi cita-cita saya untuk saya terapkan di organisasi ekternal kampus saya
yang hingga sekarang tertatih-tatih saya membangunnya.
Tapi entah kenapa, walaupun
kecenderungan saya cukup besar kepada gerakan X ini, saya tetap tidak pindah ke
gerakan X. Semakin banyak saya berinteraksi dengan pelaku-pelaku gerakan X,
maka semakin saya menjauh. Semakin saya berdiskusi, berdialog dengan
pemikiran-pemikiran mereka, semakin saya tidak yakin. Dulu saya dan teman saya yang lain pernah punya
keinginan untuk berkecimpung di dua gerakan ini “gerakan Y” dan gerakan “X”. Karena
yang satu memenuhi kebutuhan ruhani saya, sementara yang satu memenuhi
kebutukan akal saya. Tapi tetap saja saya tidak melakukannya. Sayapun menjadi
heran dengan diri saya sendiri. Kenapa?
Dalam benak saya, saya masih bertanya
kenapa saya tidak pindah??, kenapa saya tidak mengikuti kedua gerakan tersebut
saja??.
Ada banyak alasan sebenarnya yang
mungkin menjadikan saya tidak pindah, diantaranya, pemikiran mereka bagus, tapi
saya melihat keanehan pada pemikiran mereka. Mereka menyalahkan sebuah sistem,
tapi memberikan solusi tidak begitu jelas dan rinci, akhirnya mereka hanya “menyeru”
untuk pindah ke sistem yang lebih baik, tapi tidak berusaha “membuktikan” (yang
bukan hanya sekedar argumen) kebaikan
dari sistem tersebut. Kedua, mereka berdiskusi hanya mengandalkan
artikel-artikel andalan mereka. Mengapa saya katakan andalan, karena ketika
kita bertanya ataupun berdiskusi mereka selalu mengambil artikel dari “website”
mereka ataupun teman mereka, sehingga saya tidak melihat ada sebuah pembangunan
arus berfikir ataupun pembangunan kemampuan berfikir kritis. Mereka hanya
melakukan dogmanisasi ataupun semacam “pencucian otak”. That’s it. Kebetulan saya
bukanlah orang yang bisa didogma, saya termasuk orang yang akan menelaah apa
yang didapat, dibaca dan didengar. Saya tidak akan menjudge, menyimpulkan jika
saya tidak mempunyai data ataupun argumen yang jelas dan diikuti dengan
pemikiran yang mendalam.
Tapi, saya fikir itu bukan satu-satunya
alasan saya untuk tidak bergabung di gerakan X.
Selain itu, saya pernah mengirimkan
artikel kepada beberapa teman saya di gerakan X, tentang “Membangun Ukhuwah
Harakiyah”. Jujur, saya berharap mendapatkan tanggapan positiflah dari mereka,
saya ingin melihat ada I’tikad baik dari mereka untuk mewujudkan wihdatul ummah
(kesatuan ummah). Alangkah kecewanya saya ketika teman saya itu menolak dengan
cara halus sih, tapi yang membuat saya jengkel adalah mereka sembarangan
menggunakan dalil dan ilmu fikih mereka hanya untuk mendapatkan penguatan
argumen mereka agar tidak terwujud ukhuwah harakiyah. Tapi saya tahu memang begitulah jadinya jika yang dikembangkan hanya fungsi akal saja. Jujur saya berharap
mereka menanggapi dengan tanggapan positif, ya minimal sebuah kalimat, “Ya, ayo
kita bangun ukhuwah harakiyah, kamu punya solusi??
Itu membuat daftar saya semakin panjang
untuk tidak bergabung di gerakan X. Di benak saya masih bertanya, kenapa??
Dan ternyata… saya mendapatkan
jawabannya baru-baru ini, lewat sebuah buku yang berjudul, “Dalam Dekapan Ukhuwah”
yang ditulis oleh Salim A. Fillah. Hanya dengan beberapa kalimat tapi dengan
pemaknaan yang mendalam kutemukan jawaban mengapa, simaklah kalimat-kalimat
ini:
“sebab pikiran punya jalan nalarnya
masing-masing.
Maka terkadang mereka bertemu atau
berpapasan.
Sesekali bersilangan, berhimpitan
bahkan bertabrakan.
Syukurlah kita punya ruh-ruh yang
diakrabkan oleh iman.”
Dan juga kalimat yang begitu menjawab
pertanyaan kenapaku:
“Jiwa tak bisa takluk oleh Hujjah. Yang
bisa takluk oleh Hujjah hanya akal. Yang bisa tunduk pada dalil hanya
otak. Bukan jiwa. Bukan hati. Padahal Allah
sudah menggariskan bahwa perubahan suatu kaum dimulai dari perubahan jiwa.”
Ketika membaca kalimat-kalimat diatas,
sayapun langsung berucap hamdalah. Karena Allah telah menjawab pertanyaan “kenapa”
saya. Saya tahu kenapa saya tidak bergabung disana, karena disana tidak
membangun jiwa saya, gerakan itu nantinya hanya akan membangun akal saya.
Dan ketika baru-baru bergabung di dunia
gerakan dakwah ini, saya pernah merasakan bagaimana keadaan saya ketika saya
hanya membangun akal saya. Ya, harus saya akui dulu akhlaknya saya tidak begitu
baik. Memang benar perdebatan memancing hawa nafsu, nafsu untuk menang, nafsu
untuk mengalahkan dan mematahkan argumen, dan juga perdebatan menjadikan kita
bisa “menghalalkan segala cara” untuk berhasil memenangkan argumen. Itulah yang
menjadi alasan utama saya tidak bergabung di gerakan X, apalagi saya melihat bukti dari para pelaku gerakan X itu sendiri.
Jiwa saya sudah terbangun dengan mengikuti
proses tarbiyah selama ini, saya belajar dan berusaha untuk tidak hanya
berfikir dengan otak saya, yang kemampuannya sangat terbatas, tapi saya belajar
untuk berfikir dengan hati saya. Bukan merasa, karena perasaan bukan fungsi
hati sebenarnya, perasaan hanya merupakan salah satu bagian dari fungsi hati kita. Fungsi hati adalah untuk berfikir lebih mendalam tidak hanya sebatas
surface yang hanya bisa dilakukan oleh otak kita, karena otak kita hanya bisa
berfikir jika ada data dan informasi yang nyata. Sementara ada banyak hal yang
harus direnungi secara mendalam. sebagaimana bunyi sebuah hadist bahwa “hati
adalah raja”.
Entah ya…
Saya merasa teman saya itu terluka. Mungkin
terluka karena kata-kata saya yang mengungkap “kekeliruan” dia, atau kah apa??
saya tidak tahu. Ini hanya sebuah sangkaan. Karena saya heran kenapa teman saya
itu tidak mengaktifkan kembali akun fb nya padahal dia sudah menyelesaikan
studinya. Jujur ini membuat saya merasa bersalah, “apakah dia merasa saya
mata-matai”?.
Wah… saya bukan termasuk orang yang
suka mematai-matai, tapi saya suka mengamati. Yup,… saya heran dan kembali
pertanyaan “benarkah” itu muncul lagi ketika teman saya mengatakan bahwa dia
akan fokus kepada studi.
Kata teman saya yang lain, saya
mempunyai bakat intelijen, mendengarnya saya tergelak tertawa. Padahal kadang
saya mendapatkan informasi tanpa sengaja. Yup, benar…
Ketidaksengajaan yang paling banyak
membuat saya mendapatkan informasi dan sayapun mulai merunutnya dan akhirnya
mendapatkan sebuah hipotesa. setelah itu saya akan menguji hipotesa tersebut.
Jujur, secara tidak sengaja, saya
menemukan bahwa teman saya itu mempunyai akun FB. Tapi akun itu hanya untuk orang-orang terbatas. Mungkin keluarganya??, tapi mungkinkah sebuah keluarga bisa sebanyak itu?? who knows??
Saya mendapatkan informasi bukan lewat
penyelidikan, tapi lewat ketidaksengajaan. Mungkin ini yang dinamakan insting/
intuisi. karena beberapa kali juga saya menemukan "kekeliruan" yang sejenis dengan teman saya yang lain.
Entahlah…
Tapi mengetahui itu membuat saya heran,
dan tidak enak hati. Pertanyaan kenapa itu muncul kembali di benak saya. Kenapa??
Apakah dia terluka??
Kalau dia terluka maka saya merasa
bersalah…
Karena saya tahu teman saya itu teman
yang sangat baik, hampir tidak pernah “menolak” sebuah permintaan tolong. Ya,
saya merasa tidak enak hati jika dia merasa sulit untuk kembali berhubungan
dengan teman-temannya karena insiden kekeliruan tersebut. Saya tidak enak hati
karena membuat dia berhenti berhubungan dengan teman-teman lamanya.
Ya, seperti judul tulisan ini: “Confession”
= pengakuan.
Saya hanya ingin berucap, “maafkan saya
teman”. Jika saya tahu akan begini jadinya, maka saya akan memilih untuk tidak
mengingatkanmu.
Karena ketika saya membaca buku “Dalam
Dekapan Ukhuwah” saya memahami bagaimana perasaanmu, kekhawatiranmu. Dan bagaimana
luka itu.
@penghujung malam
Ditengah data-data yang membuat
mataku menjadi mengantuk….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar