NEKAD SAJA
Islamedia - Agak sungkan sebetulnya
menceritakan yang satu ini. Geli.
Malu tepatnya.
Tapi tak apalah, sebab biar sampai
bersemu merah wajah karena menceritakannya,
saya berharap ada barakah yang
Allah kirimkan lewat menuliskan kisah pendek ini.
Pakuan, gedung yang nyaris berusia
150 tahun itu ramai sekali. Pagi itu, berbagai komunitas sepeda membuat gelaran
acara bersama. Tentu mereka tak kan rela bila sang ikon gowes-er se-Jabar, Ibu
Gubernur tak turut ikut dalam acara tersebut.
Jangan kira setiap acara yang
berlangsung disini akan berlangsung seadanya. Prinsip yang sering tuan rumah
ulang di hadapan para tamu adalah
"Saya yang berkunjung ke
daerah atau hadirin sekalian yang berkunjung ke rumah dinas ini adalah
Silaturahim, yang akan memanjangkan usia dan menambah Rizki," begitu ia
sering ulang.
Maka, suguhan pagi yang dihidangkan
betul-betul akan merangsang siapapun untuk 'serakah' sesaat, menggasak hidangan
prima yang tuan rumah siapkan. Bila sudah seperti ini, jangan harap bisa ikut
bertarung di antrian dengan mereka. Apalagi bila tuan rumah atau staf disana.
Sabar, lebih baik.
Kebetulan hari itu pun saya ada
disana. Dan memang tak kan sempat ikut sarapan.
Acara pun berlangsung. Intinya sih
sederhana saja. Gubernur menyampaikan sambutan, peserta dilepas dengan hitung
mundur, dan selesai. itu. Sesederhana itu. Namun ingat. Jumpa sesederhana itu
sungguh akan sangat berarti bagi mereka. Lekat kesan karena diwejangi orang
yang mereka harap bisa mengayomi, akan dikenang lama lho.
Sebab itu sungguh saya sangat
prihatin, bila ada pejabat yang meremehkan agenda-agenda 'kecil'. Terlalu
arogan. itu saja, dan saya tak mau memperpanjang.
Beralih pada cerita utama kembali.
Selepas usai acara, kami yang tak
menggowes pun rebah lega. Bagaimana ikut menggowes bila baru pulang hampir
pukul 4 pagi?
Ia dan sang Istri pun begitu. Lelah
bukan buatan.
Sambil 'balas dendam' karena tadi
mengalah sarapan, kami pun mengasihani perut sambil berbincang ringan.
Ada saya, seorang teman, juga
Gubernur dan sang Istri.
"Udah pada nikah belum?"
DEGG!! 'Celetukan' yang nancep,
langsung membuat diri rasanya payah parah.
"mm..belum Ustadz",
jawabku malu. Aku memanggil ustadz agar lebih nyaman sebab ia memang mubaligh
yang di aktivitas kesehariannya tak menampilkan diri sebagai Agamawan, tapi
Negarawan. Setidaknya, sapaan 'ustadz' dapat membuat lebih cair suasana.
"Lah, kok belum?? umur berapa
memang?"
"24 ustadz."
"Aah, udah mau deket 25 tuh,
cepet-cepet aja."
JLEB!! (lagi)
"Saya juga dulu Nekat tuh
nikahin Ibu. Ya nggak Bu?", sambungnya yang dijawab anggukan oleh sang
istri, "Iya."
"Dulu, waktu datang ke rumah
orang tuanya ibu. beuuh...tegang banget. Takut ditanya macem-macem kan?
Terutama soal kerjaan. Karena saya kan waktu itu lagi tingkat akhir, Ibu
tingkat dua ya Bu?" bila sudah santai seperti ini, asyik sekali menyimak
obrolannya.
"Eh, taunya bener.."
terusnya dengan penekanan.
"Saya ditanya sama Bapaknya
Ibu, 'Udah Kerja?'"
"Saya jawab aja langsung kan,
ya Pak saya sudah KERJA. Dalam hati, saya tambahin, KERJA DAKWAH."
Spontan teras rumah ini ramai hanya
oleh tawa kami berempat.
"Tapi bener kan? Saya ditanya
udah kerja apa belum, bukan kerja apa. Jadi gak bohong dong", celetuknya
lagi ringan sambil masih tertawa.
"Tapi ya alhamdulillah
akhirnya bisa juga dapat SIM dari orangtuanya Ibu. Surat Izin Menikah.",
kontan kami tertawa lagi.
"Tapi, setelah nikah ternyata
bingung juga. Karena saya gak punya kerja. Yang penting kan kita merasa mampu
dan memang mampu menafkahi, ya saya cari penghasilan betul-betul. Untung
istrinya shalehah."
"di awal-awal nikah, saya
jualan koran lah, apalah macem-macem. eeh, alhamdulillah sekarang jadi
Gubernur, haha.."
"Nah gitu, jangan kuatir
masalah rizki. Pasti ada. Laki-laki sekarang banyak nunggu macem-macem.
Lembek."
dan... kata-kata terakhir itu betul-betul
'JLEB!!' hingga sekarang.
allahua'lam bish shawab..
Roni Sewiko
JLEBB
BalasHapus