Oleh: KH. Hilmi
Aminudin
Ta’shil
Wa Tathwir
Oleh: KH. Hilmi
Aminudin
Membicarakan asholah
(orisinalitas) dakwah kita sebenarnya adalah sama dengan membicarakan asholah
islamiyah, yang tidak memiliki mabadi’ kecuali mabadi imaniyah
dan fikriyah yang bersumber dari Al-Quran. Asholah dakwah Islamiyah
itulah yang dipakai asholah dakwah kita. Dia tidak mempunyai mabadi’-
baik aqidiyah, fikriyah, atau minhajiyah-kecuali yang berlindung
pada Al-qur’an dan As-sunnah.
Tapi betapapun
luasnya pembahasan tentang asholah yang merupakan bagian kita untuk
menyegarkan diri, salah satu keistimewaan dakwah kita, selain ruang lingkup
yang tercakup dalam syumuliyah dan takamuliyah, juga keterpaduan
perjuangan, tatanan, sistem yang kita anut sesuai dengan intergralitas dan
keterpaduan ajaran Islam itu sendiri.
Selain itu,
masalah syumuliyah dan takamuliyah itu lebih kepada pendekatan
prinsipil. Ada hal lain yang bisa dilihat dari pendekatan operasional, yaitu
kemampuan dakwah kita mewarisi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai dakwah dari
para Rasul dan anbiya, para sahabat Rodhiyallahi anhum dan juga para
salafus shalihin. Bentuknya adalah kemampuan tawazun dalam melakukan
langkah-langkah yang mutawazinah bainal khutuwat tathwiriyah (seimbang
antara langkah-langkah orisinalitas dan langkah-langkah pengembangan). Ini
salah satu tamayuz (keunggulan), yang sebetulnya merupakan tamayuz
islami yang banyak diabaikan oleh gerakan-gerakan dakwah lain. Meskipun
begitu, kita respek terhadap mereka, mengakui eksistensi perjuangan mereka
sekaligus mengakui eksistensi perjuangan mereka sekaligus mengakui keikhlasan
dan pengorbanan mereka di dalam berjuang. Tapi titik qudratu da’wah
(kemampuan dakwah) dalam melangkah baina ta’shil wa thatwir di zaman
modern ini menjadi tamayuz islami yang benar-benar kita upayakan untuk
kita laksanakan secara konsisten.
Konsisten dalam
menjaga ta’shil wa tahtwir ini sangat penting bagi keselamatan kita-baik
sebagai pribadi, maupun sebagai jama’ah dakwah dan harokah. Sebab tanpa
keseimbangan antara ta’shil dan tathwir sudah tentu akan banyak
sekali menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dakwah.
Kesyumuliyahan
dan ketakamuliyahan dakwah kita tergambar dari pengelolaan bagaimana
membangun hablum minallah dan hablum minannas yang baik. Ini
sangat terkait dengan kemampuan kita menjaga keseimbangan dalam menjaga khutuwat
ta’shiliyah yang bertitik berat pada utuhnya komitmen kita kepada Allah
swt, Rasulullah SAW, kitab dan sunnah. Begitu juga konsistensi kita dalam
membangun khutuwat tathwiriyah, titik beratnya adalah bagaimana
membangun hablum minannas secara baik.
Kemampuan
mengelola dakwah di sektor khutuwat ta’shiliyah- di dalam
langkah-langkah orisinalitas dakwah kita- baik aqidiyah, fikriyah,
manhajiyah- sekali lagi – dekat kepada konteks bagaimana keutuhan hubungan
kita dengan Allah swt, baik dari sisi moral, ma’nawiyah, sisi ruhiyah
yang dibentengi dengan sehatnya aqidah kita. Juga terjauhkannya dari syirik,
besar atau kecil, yang nampak atau yang tersembunyi dan menyelinap dalam
pikiran kita. Insya Allah dengan selalu memperhatikan khutuwat ta’shiliyah
kita, keutuhan ruhiyah, fikriyah, manhajiyah kita akan terjaga dengan
baik.
Agar mampu
menjaga kesadaran pentingnya khutuwat ta’shiliyah, kita harus menyadari:
Manzilatul Insan
(posisi manusia)
Pertama, posisi
manusia sebagai makhluk. Ini penting disadari betapapun tingginya ilmu dan
keulamaan kita, jabatan kita, baik di dalam jama’ah dakwah kita atau pun
negara, atau dalam masyarakat. Menghidupkan kesadaran akan posisi sebagai
makhluk sangat penting. Sebab, konteks sebagai makhluk adalah ketergantungannya
kepada khaliq. Tidak satupun produk yang tidak memiliki ketergantungan kepada
pembuatnya. Ini nampak sepele tapi sangat penting untuk menunjukkan kesadaran
bahwa kita harus kembali kepada asholah bahwa manzilah kita dihadapan Allah SWT
adalah sebagai makhluk. Oleh karena itu kita memiliki ketergantungan kepada
khaliq. Ini merupakan modal dasar untuk senantiasa mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
Kedua, kesadaran
sebagai hamba. Ini penting dibangun, karena kalau sebagai makhluk tadi adanya
ketergantungan secara mutlak, kalau dari segi penghambaan ini lebih kepada
apresiasi dari berbagai keinginan, kehendak, dan rencana, yang sangat terkait grand
design yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Sehingga kita tidak mempunyai
kehendak apapun kecuali dengan apa yang telah dikehendaki oleh Allah SWT. Ayat
Qur’an banyak menjelaskan sisi aqidah dari segi memusatkan kesatuan kehendak,
keinginan, rencana-rencana segala sesuatu sesuai dengan irodat-Nya. Inilah
tinjauan manusia sebagai hamba.
Ketiga, kesadaran
manusia sebagai junud (prajurit). Sebagai prajurit, kita harus merasakan
adanya jalur komando dari Allah dan Rasul-Nya yang mutlak. Ini adalah posisi
kita sebagai prajurit yang senantiasa siap menerima komando.
Thabiat
Insaniyah ( tabiat manusia )
Kesadaran akan
tabiat insan. Artinya humanity by nature, yaitu kemanusian yang sesuai
dengan tabiatnya yang diinginkan oleh Allah SWT. Kesadaran ini penting agar
kita tidak terjebak kepada persepsi-persepsi yang mungkin timbul, yang
seolah-olah tarbiyah itu akan mengangkat dan melepaskan kita dari kemanusian
kita. Kita dididik melalui tarbiyah adalah untuk mengukuhkan kemanusian kita,
bukan melepaskannya dari kemanusian. Bukan menuju kemuliaan yang sering
diidentikkan dengan malaikat. Kita tetap jadi manusia tapi manusia seutuhnya,
yang penting adalah bagaimana memenej kelebihan dan kekurangan yang kita
miliki. Kita adalah manusia, anak Adam, yang diberi kehormatan, tapi tetap saja
bisa lupa dan sering berbuat salah. Dengan kesadaran ini kita akan terjaga dari
keghururan seperti Fir’aun yang merasa dirinya sebagai Tuhan, atau juga
akan terjaga dari keputusasaan sehigga melumpuhkan semangat dakwah. Kita
berjuang harus sesuai dengan fitrah, tabiat insaniyah, ataupun tabiat
kauniyah yang ada di diri kita,
masyarakat, dan alam.
Khalifatul
Insan (manusia sebagai Khalifah)
Penyebab kita
diberi kemuliaan adalah karena adanya tugas yang besar yaitu khilafa, yang
hakikatnya bagi semua orang. Kesadaran ini penting agar kita selalu on duty,
merasa dalam tugas, tidak ada perasaan kita perlu cuti. Mungkin kita ada
rehat. Ya rehat itu dalam rangka mengumpulkan potensi untuk melaksanakan tugas.
Bukan berarti cuti secara total dengan tidak ada kaitannya dengan misi dan wazifah
kita. Makanya dalam tarbiyah kita dikenal adanya rihlah dan mukhayam,
dalam rangka membangun potensi agar inthilaqot dan langkah kita
lebih kuat dan cepat lagi dalam melakukan akselerasi-akselerasi perjuangan kita
Jika kesadaran
tentang manzilatul insan, thabiatul insan, dan wazhifatul insah tadi
ada, upaya-upaya menuju ta’shiliyah akan senantiasa hidup. Efek negatif
dari melemahnya khutuwat ta’shiliyah bisa dihindari.
Salah satu efek negatif
melemahnya ta’shiliyah adalah pelarutan. Jika kita mengabaikan khutuwat
ta’shiliyah, perjuangan dakwah kita akan mengalami pencairan dan pelarutan.
Biasanya sebelum larut akan mencair terlebih dahulu. Sebelum mencair tidak akan
melarut. Sebab madah jamidah (benda padat) itu sulit larut, tapi madah
maiyah (benda cair) itu paling mudah larut. Sering saya ingatkan dalam era
jamahiriyah ini dimana kita sering berinteraksi dengan manusia, terutama
dalam pergaulan, pertama terjadi degradasi akibat banyak bersentuhan dengan
manusia, beragam organisasi dan ideologi. Pertama, sekali lagi saya ingatkan,
adalah tamayu’ khuluqi (pencairan akhlak).
Efek atau
indikator yang paling menonjol dari tamayu’ dan idzabah ini adalah tasahul
atau menggampangkan dan menyepelekan suatu pelanggaran. Kita memang harus
toleran dalam efek negatif tarbiyah manusia, tetapi bukan menggampangkan. Hal
ini harus ditindaklanjuti dengan ilaj (terapi) tarbawi. Alhamdulillah,
selama ini jamaah dakwah kita selalu mewaspadainya melalui upaya tarbawiyah
ataupun pengamatan Dewan Syariah serta pengamatan tandzimiah. Kita harus
memperhatikan, baik kepada diri ataupun kepada yang lain yang berada di bawah
pengawasan kita. Bila pelarutan ini terjadi, berawal dari tasahul lama-lama
menjadi ibahiyah, segala hal boleh, dalilnya gampang dicari. Akhirnya
mencari dalil tunggal, dalil darurat.
Selanjutnya yang
harus diwaspadai adalah tamayu’ wal idzabah dalam ubudiyah di
segi mahdhoh. Karena terlalu sibuk sehingga dalam sebulan nol shaum, nol
tahajud. Walaupun dalam baramij tarbiyah ada program itu, tetapi itu
sifatnya stimulant, yang diharapkan berbuah iradah dzatiyah (motivasi
pribadi) atau tarbiyah dzatiyah (pembinaan pribadi) dengan amal dzati
diluar program. Harus diwaspadai agar tamayu’ khuluqi dan tamayu’
wal idzabah ‘ubudiyah ini tidak timbul. Bila dibiarkan akan berlanjut pada idzabah
fikriyah (pelarutan ideologi) – idealisme pemikiran jadi hilang dan kacau
balau, mengambil fikroh kiri kanan dan meninggalkan manhaj.
Apabila sudah
terkena idzabah khuluqiyah, idzabah ta’abudiyah, dan idzabah fikriyah, maka
akan timbul idzabah aqidiyah. Awalnya mengakui kesejajaran aneka ragam
keyakinan. Mula-mula di dalam memandang, misalnya, syiah dan sunni adalah sama
saja. Terus berkembang keluar dengan menyamakan yang lain, komunis, sosialis,
Islam sama saja untuk manusia-manusia juga. Keyakinan bahwa kebenaran mutlak
hanya dalam Islam menjadi luntur. Memang semua ajaran ada kebenarannya tetapi
tidak semuanya benar. Jika lemah dalam langkah-langkah asholah akan terjadi al-idzabiyah
dan tamayu’ dalam berbagai sektor. Jika itu sudah terjadi pada suatu
golongan, sudah tentu akan terjadi kehancuran dunia dan akhirat.
Jika ta’shiliyah
tidak diimbangi dengan tathwiriyah akan menimbulkan tajamud (kebekuan).
Mungkin akan merasa bahwa dirinya sajalah yang akan masuk surga dan yang lain
dan kufur. Dengan begitu dia tidak akan dapat memanfaatkan pengalaman
dan potensi orang lain. Ketika mutajamid ruhi, fikri akan sulit menerima
masukan dari orang lain. Bila terjadi tajamud aqidi akan merasa,
semuanya aqidah akan beres.
Memperhatikan
idealitas, rasionalitas, dan realitas, seperti dijelaskan di atas sangatlah
penting. Memperhatikan realitas saja akan melahirkan pragmatis. Memperhatikan
idealitas saja akan menghasilkan perfectionist tetapi tidak bisa dilaksanakan.
Memperhatikan rasionalitas saja akan melahirkan teori saja.
Kita harus mampu
mengkomunikasikan rencana kita, baik secara internal maupun eksternal.
Kemampuan mengkomunikasikan ini intinya ada pada qudrah mukhatabah: qaulan
sadida atau kalimat yang tepat. Bisa tegas, lembut, sindiran dan lain-lain.
Patokannya: khatibunnas ‘ala qadri uqulihim (bicaralah kepada manusia
dalam bahasa mereka), dengan memperhatikan budaya, karena manusia adalah anak
lingkungan. Sebagai da’i harus memilih qaulan sadida baik melalui
pendekatan intelektual, budaya atau social. Pertama, akuilah keberadaannya,
kemudian cari cara yang tepat mendekatinya. Dalam Al-qur’an ada ya
ayyuhannas, ya ayyuhalladzina amanu.
Dengan pemilihan
kata yang tepat yushlih lakum a’malakum. Menghasilkan kebaikan bagi diri
sendiri atau pun orang lain, dan yang lebih besar lagi, ampunan Allah.
Taken from al
intima’ page 8-9. (Februari 2012 edition)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar